Jumat, 25 Agustus 2023

DZIKRUL ANFAS


 

Dalam praktik dzikr thoriqoh, selain dilakukan dalam bentuk beberapa bacaan lisan, terdapat pula dzikr sanubari yang terletak dalam beberapa tempat yang dinamakan lathifah. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas wilayah dzikr/ anggota tubuh yang berdzikr. Hal yang lebih penting dari adanya dzikr lathifah tersebut yaitu bahwa dzikr yang berarti mengingat tidaklah dilakukan dengan lisan melainkan dengan subjek bathin yaitu sanubari manusia. Meski kata dzikr juga dapat berarti menyebut yang dilakukan oleh indera pengucapan, namun konsep dzikr yang sesungguhnya lebih kepada aspek bathin seorang yang berdzikr.


       Salah satu praktik lain dzkir dalam thoriqoh Qodiriyah Wan Naqsyabandiyah adalah praktik dzikrul anfas, yang berarti berdzikr dalam setiap nafas manusia. Nafas menjadi hal yang sangat mendasar bagi ciri kehidupan seorang manusia. Dari hal tersebut, sangat penting melakukan dzikrul anfas sebagai bentuk dzikr dari hal yang pokok dalam kehidupannya. Nafas menjadi bagian yang berjalan menyeluruh dalam anggota badan manusia. Ketika nafas tersebut disertai dzikr, maka dzikr tersebut akan turut serta menyusuri seluruh anggota tubuh manusia bersama dengan nafas yang masuk ke dalam darah.


       Dzikr ini sebagai penunjang dzikr lathaif yang berfokus pada aliran darah. Sehingga apabila dilakukan bersamaan, darah yang disertai dzikr akan membawa nafas yang juga disertai dzikr. Dengan kedua dzikr tersebut, tubuh manusia akan dipenuhi oleh dzikr. Hal ini akan menjadi nutrisi yang sangat baik bagi fisik dan mental seseorang. Secara fisik, pernafasan yang benar akan menjadikan peredaran darah yang lancar dan baik bagi kesehatan. Darah yang berisi dzikr juga akan berjalan lancar karena dzikr pada aliran darah akan meningkatkan suhu darah sehingga tidak beku dan menggumpal.


       Praktik dzikrul anfas tidak dengan ucapan lisan melainkan ucapan hati. Ketika menarik nafas, hati mengucapkan kata "Hu" dan ketika keluar mengucapkan "Alloh". Praktik dzikr ini dapat dilakukan dan dianjurkan dalam setiap tarikan dan hembusan nafas dalam kondisi apapun. Dzikr ini tidak terbatasi oleh waktu tertentu. Setiap kali bernafas dalam kondisi sadar, dzikr ini hendaknya senantiasa dilakukan. Dzikr ini dapat dilakukan dalam semua aktivitas sehari-hari. Dalam posisi berdiri, duduk, tiduran, berjalan dan sebagainya.


       Dalam sebuah terapi kesehatan, seorang terapis mengatakan kepada pasien yang mengalami sakit perut agar ketika tiduran dengan posisi telentang, mengganjal bagian pinggangnya supaya agak tinggi, melakukan terpi pernafasan dengan praktik dzikrul anfas, menyalurkan dan memusatkan nafas pada area perut selama 15 -20 menit. Dalam 2x praktik sendiri, hasil diperoleh sangat baik. Gangguan pada pencernaannya sudah hilang dan sudah normal seperti semula.


       Beberapa golongan kaum yang menganggap hal ini sebagai sebuah perilaku sesat, sebenarnya hal ini merupakan hal yang belum dipahami sepenuhnya oleh mereka. Konsep ini sebenarnya telah diajarkan dan dianjurkan oleh Nabi, namun jarang dikemukakan karena materi ini tidak boleh dilakukan atas pemahaman pribadi melainkan harus melalui seorang guru yang telah mendapatkan hak untuk mengajarkan materi tersebut yakni seorang mursyid thoriqoh. Apabila pembaca hendak mengamalkan dzikr ini, hendaknya meminta izin seorang guru mursyid.


"Pertanggungjawaban perilaku kehidupan bukan hanya pada anggota tubuh seperti tangan, kaki, panca indera, namun juga pada nafas yang dipinjamkan kepada kita. Untuk apa nafas itu?"


Copy paste : http://at-tauchidjogomertan.blogspot.com/

Rabu, 09 Agustus 2023

Apa Itu Tarekat


Istilah “Tarekat” memiliki berbagai makna, bisa berarti jalan, tradisi kesufian, atau organisasi persaudaraan sufi. Tetapi kini istilah “tarekat” sering kali diartikan sebagai organisasi persaudaraan sufi, sehingga tarekat dalam arti ini berarti pengorganisasian ajaran esoteris (khusus kesufian) yang berpusat pada hadirnya seorang mursyid (guru sufi).[2]


Secara etimologis, istilah “tarekat” berasal dari bahasa arab tariqah, yang berarti “jalan”, yang bermakna sama dengan jembatan/sirat, syariah, dan sabil[3]. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tarekat merupakan kata benda yang mempunyai beberapa arti, yakni: jalan, jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf), cara atau aturan hidup (dalam keagamaan atau ilmu kebatinan), dan persekutuan para penuntut ilmu tasawuf.[4]


Secara terminologis, tarekat memiliki tiga arti, yakni: jalan lurus, tasawuf, atau persaudaraan sufi[5]. Tarekat bisa diartikan dengan as-sirat al-mustaqim (jalan lurus) sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Fatihah yang berarti: “ Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” Tarekat dalam arti ini adalah islam yang benar, yang berbeda dari kekufuran dan syirik sebagai penyimpangan dari jalan yang lurus.[6]


Tarekat juga bisa berarti tradisi sufi atau tasawuf. Apabila tasawuf dipandang sebagai jalan spiritual menuju Tuhan, maka tarekat dalam arti ini sama dengan tasawuf. Sang penempuh jalan spiritual ( salik ) harus  menempuh jalan itu di bawah bimbingan seorang guru terpercaya, yang biasanya disebut syekh, mursyid atau pir. Dalam arti ini, tarekat adalah nama khusus untuk jalan spiritual islam yang disebut tasawuf.[7] Makna lain  dari tarekat adalah persaudaraan sufi yang terorganisasi. Dalam arti ini, tarekat bukan hanya merupakan jalan spiritual yang disebut tasawuf, tetapi juga merupakan organisasi sosial sufi yang memiliki anggota dan peraturan yang yang harus ditaati. Tarekat dalam arti persaudaraan sufi baru muncul pada abad ke-12 dan ke-13.[8]


Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin mempunyai definisi tersendiri mengenai tarekat, menurut beliau tarekat ialah:[9]


وَقَدْ سَبَقَ أنْ عَرَفْنَا أنَّ مَرَاتِبَ الوُصُولِ إلى اللهِ عَلَى ثَلاثَةِ مَرَاحِلْ : اِسْلامٌ ، فَإيمَانٌ ، فَإحْسَانٌ ، فَالعَبْدُ مَا دَامَ مَشْغُولاً بِالعِبَادَةِ وَحْدَهَا فَهُوَ في مَقَامِ الاِسْلامْ ، أوْ مَقَامَ الشَّرِيعَةِ ، فَإذَا اِنْتَقَلَ العَمَلُ إلُى القَلْبِ بِالتَّصْفِيَةِ وَالتَّخْلِيَةِ مِنَ الشَّرِ وَالتَّحْلِيَةِ بِالخَيْرِ وَتَحَقَّقَ بِالاِخلاَصِ فَهُوَ في مَقَامِ الإيمانِ أوْ مَقَامَ الطَّرِيقَة ، وَإذَا بَلَغَ الاِنْسَانُ مَرْتَبَةَ العِبَادَةِ للهِ كَأنَّهُ يَرَاهُ فَهُوَ في مَقَامِ الاِحْسَانِ أوْ مَقَامِ الحَقِيقَة ، وَلِذَلِكَ يَقُولُوْنَ – الشَّرِيعَةُ أنْ تَعْبُدَهُ وَالطَّرِيقَةُ أنْ تَقْصِدَهُ – وَالحَقِيقَةُ أنْ تَشْهَدَهُ –

“Sudah kita sebut dahulu, bahwa martabat wushul ( sampai kepada Allah ) adalah tiga perjalanan, yakni: pertama islam, kedua iman, dan ketiga ihsan. Adapun seorang hamba Allah, jika ia kekal sibuk dalam ibadah, berada dalam makam Islam atau makam Syariat. Apabila amal itu berpindah kepada hati dengan kebersihan dan sunyi daripada kejahatan, berisi dengan kebajikan sempurna ikhlas, maka orang itu berada dalam makam iman atau makam tarekat. Apabila manusia itu telah sampai pada martabat ibadat untuk Allah semata-mata, seakan-akan Allah melihatnya, maka ia berada dalam maqom Ihsan  atau maqom hakikat. Oleh karena itu di ungkapkan orang :”Adapun syari’at  itu ialah bahwa kamu menyembah Allah”. Tarekat itu ialah bahwa kamu menuju kepada Allah, dan hakikat itu ialah bahwa kamu bermusyahadah benar-benar menyaksikan Allah yang Maha Pencipta.”[10]


Tarekat pada bayan diatas ialah “bahwa kamu menuju kepada Allah”, menuju kepada Allah disini ialah merupakan tujuan dari segala bentuk ibadat yang dilakukan oleh semua makhluk, apa yang mereka kerjakan tidak lain adalah untuk menuju kepada-Nya dan mendapat ridla-Nya tenmtunya dengan aturan dan cara yang tepat pada pengamalan tarekat tersebut.


Bila membicarakan tarekat sudah tentu membicarakan tentang tasawuf. Tarekat dan tasawuf adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, karena dua hal ini adalah sebagai sebab dan akibat dari adanya dua hal tersebut.


Dari hasil wawancara penulis dengan narasumber yakni bapak KH. Nur Muhammad Suharto (wakil talkin Abah Anom TQN Pon.Pes Suryalaya) didapat keterangan sebagai berikut:[11]bahwasannya ajaran islam berlandaskan pada tiga asas/dasar, yakni islam, iman dan ihsan. Dari masing-masing asas tadi memiliki ruang lingkup kajian yang berbeda-beda, islam mengkaji tentang aspek syariah, iman mengkaji tentang aspek akidah, dan ihsan mengkaji tentang aspek akhlak. Untuk memahami semua itu diperlukan ilmu yang mengkaji lebih detail untuk setiap aspek-aspek trilogi islam tersebut, dimana ilmu yang membahas tentang syariah disebut ilmu fikih, ilmu yang membahas tentang akidah disebut ilmu ushuludin dan ilmu yang membahas tentang akhlak disebut ilmu tasawuf. Dan ilmu-ilmu tersebut diaplikasikan dalam bentuk madzhab untuk aplikasi ilmu fikih, firqah untuk aplikasi ilmu ushuludin dan tarekat untuk ilmu tasawuf.


Menurut Ibnu Khaldun[12], ilmu tasawuf merupakan bagian dari ilmu-ilmu yang muncul dikemudian hari dalam agama. Pada dasarnya, pendekatan para ulama salaf seperti para sahabat dan para tabi’in yang datang sesudahnya merupakan pendekatan yang benar dan berhak mendapat petunjuk, yang bertumpu pada kesungguhan dalam beribadah dan memfokuskan pengabdian kepada Allah SWT, menghindari kemegahan dan gemerlap dunia dengan segala perhiasannya, berzuhud dari kenikmatan harta dan ketinggian jabatan yang banyak diharapkan masyarakat pada umumnya, dan mengasingkan diri dari keramaian dunia dan berkhalwat untuk memusatkan diri dalam ibadah. Aktivitas semacam ini merupakan fenomena umum di kalangan para sahabat dan ulama salaf. Ketika kecintaan dunia semakin merebak dalam kehidupan pada abad kedua dan sesudahnya, dimana manusia berlomba-lomba untuk menggapai kemewahannya, maka orang-orang yang mengabdikan diri dalam kekhusyukan ibadah mendapat sebutan khusus ash-shufiyah dan al- Mutashawifah.[13]Al- Qusyairi mengatakan, “ Asal kata nama ini tidak memiliki bukti apapun dari segi bahasa Arab dan tidak pula qiyas. Yang jelas, nama tersebut merupakan gelar jabatan. Orang yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari ash-shafa atauash-shifah, maka sangat jauh dari segi filologi (qiyas bahasa), begitu juga dengan kata ash-shuf. Sebab yang memakai wol ini bukan hanya mereka.”[14]


Ibnu khaldun berpendapat[15], “ Jika memang bahwa kata tasawuf berasal dari kata ash-shuf,  maka hal ini dikarenakan para sufi paling banyak memakai pakaian dari wol atau bulu domba. Sikap ini dimaksudkan untuk menentang pakaian masyarakat pada umumnya yang bermewah-mewahan dalam berpakaian. Ketika mereka mengikuti gaya hidup yang jauh dari keglamouran, banyak berkhalwat dan bermeditasi untuk memusatkan perhatian kepada Allah dalam ketulusa ibadah, maka mereka memiliki karaketer yang membuat mereka mudah dikenal. Sebab manusia berbeda dengan semua makhluk hidup hanya dengan pengetahuannya.[16]


Adapun objek dari ilmu tasawuf adalah perbuatan hati dan panca indera ditinjau dari segi cara penyuciannya. Penyucian hati manusia menjadi amat penting keberadaannya karena tanpanya manusia tidak akan bisa dekat dengan Zat Yang Maha Suci.[17] Dan buah dari ilmu tasawuf itu sendiri tidak lain ialah terdidiknya hati sehingga memperoleh makrifat terhadap ilmu gaib secara rohani, selamat di dunia dan bahagia di akhirat, dengan mendapat keridaan Allah, memperoleh kebahagiaan abadi, hati bersinar dan suci yang karenanya terbukalah kepada sufi tersebut perkara-perkara yang gaib, dan ia dapat menyaksikan keadaan-keadaan yang menakjubkan. Manusia yang terdidik hatinya disebut al-‘arif al-wasil ilallah.  Indikator model sufi serupa ini adalah terwujudnya akhlak karimah dalam dirinya.[18]


Ilmu tasawuf adalah ilmu yang paling mulia karena berkaitan dengan makrifat kepada Allah SWT dan mahabbah kepada-Nya. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang paling utama secara mutlak, karena objeknya adalah hati manusia dan hubungannya dengan Allah SWT.[19] Sumber ilmu tasawuf tidak lain adalah sumber hukum islam yang utama, yakni al-Qur’an dan as-Sunah, juga dari atsar as-sabitah(tradisi yang sudah baku dan mapan) dari umat-umat pilihan dimasa silam.[20]


Segala ilmu yang ada di dunia ini pasti berkaitan dengan hukum dalam mempelajarinya, begitu juga dengan ilmu tasawuf, hukum mempelajari ilmu tasawuf adalah wajib ain, artinya kewajiban yang mengikat kepada setiap individu muslim, sebab setiap orang tidak akan lepas dari kekurangan-kekurangan, dan kemungkinan terkena penyakit hati kecuali para nabi.[21]


Sudah jelas apa yang dimaksud dengan ilmu tasawuf, dan dapat penulis simpulkan bahwasannya ilmu tasawuf adalah ilmu yang membahas bagaimana cara untuk membersihkan hati dengan metode-metode mendekatkan diri kepada Allah SWT atas petunjuk sang Guru Mursyid dengan silsilah yang wushul hingga Allah SWT dan amaliyah yag berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunah dan metode yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah itulah yang kita kenal dengan istilah tarekat.Bila diawal kita telah mengetahui apa itu tarekat baik secara bahasa dan ishtilah,  secara khususnya pengertian tarekat dalam ilmu tasawuf ialah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan ajaran yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan diajarkan oleh sahabat-sahabat Nabi, tabiin, tabiit tabiin dan turun-temurun sampai pada guru-guru/ulama-ulama sambung-menyambung sampai pada masa kini.[22]


Maka sudah jelas disini, antara tarekat dan tasawuf adalah dua hal yang berbeda, dimana tasawuf adalah ilmu yang membahas bagaimana cara untuk berakhlakul karimah, dan tarekat adalah aplikasi dari ilmu tersebut yang berbentuk organisasi atau perkumpulan para pengamal ajaran tarekat yang bersangkutan.


Perlu diketahui, tidak semua organisasi atau perkumpulan para pengamal ajaran tarekat dapat dikatakan tarekat. Tentunya sebuah tarekat mempunyai beberapa syarat dan kriteria sehingga ia dapat dikatakan sebagai sebuah tarekat. Dalam perishtilahan kaum ahlu sunah wal jamaah, ada yang disebut dengan Tariqah al-Mu’tabarah, ialah tarekat yang sah secara hukum dan bisa dipertanggungjawabkan secara syariat.[23]


 Menurut ahli sufi kriteria kemuktabarahan sebuah tarekat ialah:[24]


Substansi ajarannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunah, dalam arti bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunah.

Tidak meninggalkan syariat

Silsilahnya sampai dan bersambung kepada Rasulullah SAW

Ada mursyid yang membimbing para murid

Ada murid yang mengamalkan ajaran gurunya

Kebenaran ajarannya bersifat universal

Dan bila disimpulkan kriteria-kriteria tersebut dapat mengkerucut menjadi beberapa syarat, yakni:[25]


Mursyid

Wirid

dan Murid.

Wallahu a’lam bishshawwaab


Oleh: Aspiyah Kasdini. R. A


Appendik

                [2]Ade Armando, Edi Sudrajat dan Ahmad Gaus A.F, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar  ( Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),  hlm: 9.

                [3]Ibid.

                [4]Departemen Pendidikan Nasional,  Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga  (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),  hlm: 1144.

                [5]Ade Armando, Edi Sudrajat dan Ahmad Gaus A.F, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar  (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),  hlm: 9.

                [6]Ibid.

                [7]Ibid.

                [8]Ibid.

                [9]KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur Juz ats-Tsani (Sukabumi: Katabah Zainal Abidin Aminullah,  1980),  hlm: 38.

                [10]Kh. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin ,  Kunci Pembuka Dada Juz 2,  terj. Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh, (Tasikmalaya: PT. Mudawamah warahmah, 1970),  hlm: 33.

                [11]KH. Nur Muhammad Suharto, Wakil Talkin Abah Anom TQN Pon. Pes Suryalaya, Wawancara, Tasikmalaya, 06 Mei 2014, 14: 48 WIB.

                [12]Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah, ter. Masturi Irham, Malik Supar, dan Abidun Zuhri (Jakarta: al-Kautsar, 2011),  hlm: 865.

                [13]Ibid.

                [14]Ibid.

                [15]Ibid.

                [16]Ibid, hlm: 866.

                [17]Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat  (Bandung: Rosda Karya, 2012),  hlm: 12.

                [18]Ibid.

                [19]Ibid.

                [20]Ibid.

                [21]Ibid, hlm: 14.

                [22]Noor Anom Mubarok, Syariat Thoriqat Hakikat dan Makrifat  (Tasikmalaya: Pon.Pes Suryalaya, tth),  hlm: 20.

                [23]Ade Armando,Edi Sudrajat, dan  A. Ahmad Gaus, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar  (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),  hlm: 10.

                [24]Zainal Abidin Anwar,  Konsep Islam Dalam Memanusiakan Manusia ( Tasikmalaya: PP. Suryalaya, tth),  hlm: 6.

                [25]Zaenal Abidin Anwar, IAILM Ponpes Suryalaya STIE Lathifah Mubarokiyyah(Tasikmalaya: PT. Mudawwamah Warahmah. 2010), hlm: 18.


copy paste from https://jatman.or.id/apa-itu-tarekat/

Kitab Asrar Al ‘Arifin; Tafsir Hamzah Fansuri atas Syair-syairnya


 

Asrâr Al-‘Ārifîn fî Bayân ‘Ilm al Sulúk wa al Tauhîd atau Rahasia Ahl Ma’rifah adalah kitab Hamzah Fansuri yang menjelaskan makna beberapa bait syairnya. Diketahui bahwa syair Syekh Hamzah Fansuri teramat banyak.


Di antara sekian syair tersebut, sebagian darinya ditafsir oleh murid beliau seperti Syamsuddin Sumatrani dalam Kitab Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syair Ikan Tongkol. Juga terdapat tafsir syair Hamzah Fansuri yang disalin ulang oleh Muhammad Yusuf Trengganu yang diyakini juga ditulis sendiri oleh Syekh Trengganu tersebut. Naskah tertua disimpan di Leiden, No. 7291 dan sudah ditransliterasikan oleh Doorbores (1933) dan Al-Attas (1970). Menurut Syarifuddin, Naskah ini juga terdapat dalam koleksi perpustakaan kuno Abu Dahlan Tanoh Abee, No. 663 Aceh Besar.


Selain ditafsir oleh muridnya, Hamzah juga menafsir sendiri syair-syairnya diantaranya 15 bait syair yang ditafsir dan diberi nama Asrar Al Arifin atau rahasia ahli ma’rifah (the secrets of the gnostic). Kitab ini menjelaskan lima belas bait syair milik Hamzah Fansuri. Kitab ini adalah tafsir mistik atas syair mistik, dimana penafsir dan pembuat syair adalah beliau sendiri. Kata Hamzah, bagi yang tidak memahami bagaimana makna syair, dapat menggalinya dari tafsirnya karena tafsir atas syair makrifat, juga merupakan makrifat.


Kitab Asrar Al Arifin membahas mengenai makrifat kepada Allah, baik makrifat Sifat maupun Asma’-nya. Menurut Hamzah, seorang yang menyembah Allah tapi tidak disertai dengan makrifat, maka ia tetap muslim akan tetapi imannya kurang. Begitu penting makrifat kepada Allah hingga Hamzah mengutip ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa,


“Siapa yang di dunia buta (tidak mengenal Allah) maka di akhirat kelak ia juga buta (17:72).”


Bagi Hamzah, mereka yang tidak mengetahui Allah disebut awwam, mereka yang mengetahui Allah (dengan ilmu) disebut khash dan mereka yang mengenal Allah (dengan makrifat) disebut khawas al khawas.


Bait pertama, kedua, ketiga dan keempat berbicara mengenai Dzat Allah beserta ketujuh sifatnya. Hamzah menyebutkan bahwa walaupun mengetahui nama (asma’) itu penting (termasuk mengetahui sifat dan perbuatan Allah), tapi mengenal Yang Pertama (yaitu Khuni Dzat Allah) itu lebih penting. Hamzah menyebutkan,


“Yakni tatkala bumi, langit, arash, kursi, surga, neraka dan semesta belum ada, maka yang Ada ketika itu hanya Dzat Allah semata, sendiri tiada dengan sifat dan asma.”


Dzat itu disebut Huwa, kata tunjuk bagi Dzat tanpa sifat dan asma. Adapun nama “Allah” adalah himpunan seluruh Asmaul Husna, sama seperti nama “Muhammad” yang terhimpun di dalamnya, nama-nama mulia bagi baginda junjungan kita.


Menurut Hamzah, Allah itu “Qadim” yaitu suatu makna yang sulit dipahami kecuali oleh mereka yang sudah terbuka hijab (kasyf). Mereka yang sudah terbuka hijab mengumpamakan Qadim seperti buah yang bulat, tiada berujung, tiada berpangkal, tiada batasan awal dan tiada pula batasan akhir. Tiada depan, tiada belakang, tiada kiri dan tiada pula kanan, tiada atas dan tiada bawah. Perumpamaan lain seperti lingkaran yang tiada awal dan tiada akhir. Menurut mereka, Allah Ada beserta tujuh Sifat Qadim lainnya yaitu Hayyat, Ilmu, Iradah, Qudrah, Kalam, Sama’ dan Bashar.


Bait kelima menjelaskan mengenai Hakikat Muhammad. Ketika ilmu melihat ma’lumat, maka muncul hakikat Muhammad. Dan Hakikat Muhammad adalah yang pertama bercerai dengan Dzat. Ia disebut Ruh Idhafi (nyawa yang tersandar), terkadang disebut Aql Kulli (perhimpunan akal), Nur (cahaya), Qalam al-A’la (huruf tertinggi) dan Lauh al-Mahfuz (bentangan yang dipelihara tempat takdir manusia ditempa).


Bait keenam berbicara mengenai Tuhan yang Kamal (sempurna) dengan Sifat Jamal (indah) dan Jalal (perkasa)-Nya. Itu sebabnya walaupun Tuhan menciptakan surga tapi juga menciptakan neraka. Walaupun ia menciptakan kesalehan dan kebaikan tapi ia juga menciptakan kefasiqan dan keburukan. Maka (dengan Jamal dan Jalal Allah), baik dan buruk berasal dari Allah. Rahim adalah Jamal Allah dan Rahman Adalah Jamal Allah. Pun demikian, dalam perikehidupan manusia juga harus diyakini bahwa Allah hanya ridla kepada perbuatan baik dan tidak ridla pada perbuatan buruk.


Bait ketujuh dan delapan, menceritakan tentang ketinggian Allah yang tiada dapat diibaratkan. Allah tidak pernah berpisah dari Sifat-Nya, kekal selama-lamanya. Allah berfirman, “Kulla yaumin huwa fi sya’n, (55:29) yang artinya Allah senantiasa sibuk. Ia memberi bekas pada segala kejadian, memberi wujud pada sekalian alam, siang dan malam, tiada berhenti, senantiasa dan selama-lama. 


Bait kesembilan dan sepuluh menganalogikan Tuhan sebagai bahr al-amiq (laut yang dalam), tiada berhingga dan berkesudahan. Kuhni Dzat-Nya tiada dapat dideskripsikan sebagaimana ucapan Nabi, “Maha Suci Engkau, yang tiada dapat kami kenal dengan sebenar-benar kenal.” Ombak timbul tenggelam dalam pandangan, tapi dalam hakikatnya ia adalah tanda keabadian yang tiada bercerai dengan laut. Allah Swt. tiada bercerai dengan alam, tapi ia tiada di dalam dan tiada di luar alam. Dia tiada di atas, tiada di bawah, tiada di kiri, tiada dikanan, tiada di depan dan tiada di belakang. Dia tidak bercerai dan Dia tidak bertemu; Dia tidak dekat dan tidak pula jauh. Dengan kata lain, ombak dan laut keduanya terjalin, dari dalam laut ombak timbul, dan ke dalam laut ombak tenggelam. Dari dalam laut ombak datang dan ke dalam laut ombak kembali.


Bait kesebelas sampai empatbelas menjelaskan mengenai orang yang telah makrifat(tahu akan wujud) dan syuhud. Menurut Hamzah, orang yang telah mendapatkan “Wujud” akan menyaksikan keberadaan Allah dalam segala keadaan. Batinnya tidak terkait kepada apapun dan hanya terpaut kepada Allah semata. Orang yang demikian, telah fana dan mati rasa. Dan dalam keadaan fana, jangankan untuk mengingat diri, mengingat tuhanpun ia tidak mampu. Dia lenyap ke dalam Tuhannya, dan kesadaran ketuhananpun lenyap dari dirinya. Ibarat mutu (emas yang sudah menjadi perhiasan) yang lenyap di dalam emas, maka ia tidak lagi mengetahui, apakah ia emas atau mutu? Apakah ia seorang hamba atau Tuhan???


Terakhir, bait kelima belas Hamzah menganalogikan dirinya sebagai yang dlaif tapi tidak terpisah dari Dzat al-Sharif (Tuhan). Walaupun tubuhnya terlihat keras (seperti buih) karena asalnya air maka hakikatnya lembut juga (air). Seperti buih yang senantiasa terpaut (washil) dengan laut; Hamzah pun senantiasa terpaut dengan Tuhannya.


Penulis: Ramli Cibro (Dosen Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam Prodi Pengembangan Masyarakat Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh)

Editor: Khoirum Millatin

Published 1 day ago on 09/08/2023 By JATMAN Online

Selasa, 08 Agustus 2023

Mahabbah, Menempuh Jalan Menuju Allah


 Istilah mahabbah secara bahasa berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang berarti mencintai secara mendalam, khususnya kepada Allah. Jika umat Islam mencari mahabbah atau cinta murni ini, kemudian mencapainya ia akan dimuliakan Allah.

Syekh  Abdurrahman bin Muhammad Al-Anshari Ad-Dabbaq dalam kitab Masyriq Anwaar Al-Qulub wa Mafatih Asrar Al-Ghuyb menjelaskan,

“Sesungguhnya mahabbah (cinta) tidak dapat diungkapkan hakikatnya kecuali oleh orang yang merasakannya. Barangsiapa merasakannya, maka cinta itu akan menguasai pikirannya dan dapat membuatnya lupa akan apa yang sedang dia alami. Dan ini merupakan perkara yang tidak dapat diungkapkan.”

Perumpamaannya adalah seperti orang yang Şakar (mabuk berat). Jika dia ditanya tentang hakikat mabuk yang dialaminya, maka dia tidak akan dapat mengungkapkannya dalam ahwal ( keadaan) seperti itu. Sebab mabuknya telah menguasai akalnya. Adapun perbedaan antara dua jenis mabuk ini adalah bahwa mabuk yang disebabkan oleh minuman keras merupakan suatu hal yang insidential dan bisa dihilangkan. Orang yang mabuk bisa menjelaskan keadaannya ketika dia sudah sadar. Sementara mahabbah (mabuk cinta) merupakan sesuatu yang esensial dan tidak dapat dielakkan. Orang yang mengalaminya tidak mungkin sadar darinya, sehingga dia tidak dapat menjelaskan hakikatnya. Seorang sufi bersyair,

Orang yang mabuk karena khamar akan sadar

Dan orang mabuk karena cinta akan mabuk selamanya.

Imam Al-Qusyairi dalam Risalah Al-Qusyairiyah menjelaskan, 

“Cinta Allah (mahabbatullah) kepada hamba adalah pujian Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, dan Allah memuji dengan Sifat Jamal (Keindahan) Nya. Makna cinta Allah kepada hamba menurut pandangan ini yaitu kembali kepada Kalam-Nya, dan Kalam-Nya adalah Qadiim.”

Cinta-Nya kepada si hamba termasuk dari af’al (Perbuatan-Nya) sebagai Tajalli Ihsan-Nya, di mana Allah menemui hamba-Nya sekaligus Ihwal Ruhani khusus, di mana si hamba menaiki maqamatnya. Sebagaimana ungkapan ulama sufi, ‘Rahmat-Nya kepada si hamba adalah menyertai Nikmat-Nya’. Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya’ (HR. Bukhari dan Muslim).

Maqam mahabbatullah merupakan fase tertinggi dan menjadi tujuan bagi tasawuf. Dalam salah satu doa dari amalan Thariqoh Naqsyabandiyah mendawamkan,

الهي أنت مقصودى ورضاك مطلوبي اعطني محبتك ومعرفتك

“Ya Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan Ridha-Mu yang aku tuntut. Berikanlah kepadaku rasa cinta kepada-Mu dan juga mengenal-Mu.”

Untuk mendapatkan cinta mendalam kepada Allah bukan perkara yang mudah. Untuk itu seseorang harus dapat menghilangkan secara mutlak segala sesuai yang dibenci oleh kekasinya. Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab Sirrul Al-Asrar menerangkan,

“Cinta kepada Allah (Mahabbatullah) tidak akan diperoleh kecuali engkau menjungkalkan hawa nafsu yang ada dalam dirimu, berupa nafsu ammarah, nafsu lawwamah dan nafsu mulhamah. Kemudian engkau bersih wujud dirimu dari akhlak binatang jinak (bahimiyah) seperti suka banyak makan, banyak minum, banyak tidur dan berhura-hura. Engkau juga harus membersihkan wujud dirimu dari sifat-sifat binatang buas (sabu’iyyah) seperti marah, mencaci, memukul dan membentak. Dan engkau juga harus membersihkan wujud dirimu dari sifat-sifat setan (syaitaniyyah) seperti ujub, sombong, membanggakan diri, dengki, dendam dan yang lainnya yang mampu merusak tubuh dan hati.”

Jika engkau telah bersih dari sifat-sifat dan akhlak buruk itu, berarti engkau sudah bersih dan suci dari pangkal dosa, dan engkau termasuk golongan orang-orang yang bersuci dan bertaubat. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah: 222).

Untuk mendapatkan cinta mendalam dari Allah yang hakiki perlu melewati berbagai ujian dan pengorbanan.

Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani dalam Futuh Al-Ghaib kembali menjelaskan,

“Allah menguji hamba-Nya yang beriman sesuai dengan kadar imannya. Semakin kuat keimanan seseorang, semakin besar pula cobaannya. Cobaan yang dihadapi para rasul lebih besar dari pada seorang nabi, karena iman rasul lebih tinggi dari pada iman seorang nabi. Cobaan yang dihadapi seorang nabi lebih besar daripada cobaan seorang khalifah. Cobaan seorang khalifah lebih besar daripada cobaan seorang wali. Setiap orang diuji sesuai tingkat keimanannya dan keyakinannya.”

Tentang ini Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya kami para nabi, adalah manusia yang paling banyak diuji. Kemudian di bawah mereka adalah orang yang lebih rendah kedudukannya dan seterusnya.” (Hr. Bukhari).

Karena itulah Allah terus menguji para pemimpin yang mulia ini agar mereka selalu berada di sisi-Nya tanpa lengah sedikitpun. Allah Ta’ala mencintai mereka, dan mereka dipenuhi cinta kepada-Nya. Seorang pecinta (muhibbin) tidak akan pernah menjauh dari ke kasih yang dicintainya, meskipun segunung ujian sudah siap di depan mata.


Editor: Khoirum Millatin

Published 3 weeks ago on 15/07/2023 By Budi Handoyo

Senin, 07 Agustus 2023

Pergerakan Tauhid Sufi dalam Memberkahi Kehidupan Masyarakat Era Modern

     


Era modern ditandai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Kemajuan iptek sangat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Namun apabila ditinjau dari sisi ruhani, kemajuan iptek membawa kepada kepada kemerosotan Iman (aqidah) dan moral (akhlak). Mengapa demikian? Hal ini disebabkan lemahnya ketauhidan pada diri masyarakat. Masyarakat tidak memanfaatkan kemajuan iptek ke arah yang positif melainkan menggunakan iptek ke arah yang negative. Salah satunya media massa sebagai tempat untuk memfitnah dan penyebaran hoaks.

Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi problematika di atas? Inilah tugas para ulama-ulama sufi yang bertugas membersihkan kotoran-kotoran hati sebagai puncak timbulnya berbagai perbuatan yang bertentangan dengan syariat.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw.

إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذ فسدت فسد الحسد كله الا وهي القب

“Ketauhilah bahwa dalam jasad anak adam terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia buruk maka buruklah seluruh jasadnya. Ketauhilah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati.” (HR. Bukhari).

Maka untuk menghilangkan keburukan hati adalah dengan ajaran tauhid sufi. Istilah tauhid ini disebut juga tauhid Irfani atau tauhid hakiki, sebagai ruh nya islam dan ruhnya dakwah Rasullallah saw. yang diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan para murysid sufi dari kalangan wali Allah. Adapun Tauhid itu terdiri empat tingkat;

1. Tauhid I’tiqadi

فاعلم انه، لا إله إلا الله

“Maka ketauhilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sembahan yang berhak disembah melainkan Allah.” (Qs. Muhammad: 19).

Tauhid ini disebut  juga tauhid kalam. Akal memahami sifat-sifat Allah. Ia adalah sebagai pintu untuk memasuki wilayah tauhid sufi. Pengenalan pada Allah hanya pada akal. Ia untuk mengesahkan iman dan ilmu. Para ahli sufi pada tahap ini amat menekankan kepada kefahaman nafi dan isbat.

Kebanyakan pengajian hanya terhenti pada tauhid ini. Malah di pesantren-pesantren sekalipun hingga berlarutan kepada pembahasan pembahasan yang berlebihan. Tauhid ini tidak mampu mengubah nafsu, menghancurkan ananiah diri dan merasakan nikmat ibadah.

Banyak para ulama sendiri hanya terhenti pada tauhid kalam ini dan memfokuskan keilmuan kepada bidang-bidang ilmu yang lain dan mengabaikan aspek makrifat, penyucian nafsu dan membina akhlak.

2. Tauhid Dzauqi

وهو معكم أين  ما كنتم

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (HR. al-Hadid: 4).

Tauhid pada martabat ini sudah dapat merasai sifat-sifat Allah pada hatinya hingga merasai ketiadaan sifatnya, hatinya merasai asyik, rindu dan cinta dan kebersamaan Allah dalam kondisi apapun hingga merasai amat faqir. Tauhid pada martabat ini sudah dapat mencapai kelezatan ibadah, perubahan jiwa, dan akhlak dan merasai tenang dalam menghadapi segala permasalahan.

3. Tauhid Syuhudi

شهد الله أنه، لا إله إلا هو

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia.” (HR. Ali-Imran: 18).

Ruhnya telah dikaruniakan cahaya syuhudiyah sehingga matahatinya dapat merasai dan menyaksikan sifat-sifat Allah pada dirinya dan alam hingga tidak terlihat lagi sifatnya dan alam, terasa dan terlihat kefakiran dirinya yang mengakibatkan ia merasa tidak dapat melakukan apapun melainkan dengan Allah.

Tauhid ini sudah dapat menghancurkan ananiah dirinya dan kesyirikan yang halus-halus karena cahaya makrifat telah masuk menerangi hatinya dan hilanglah segala kegelapan berupa kebodohan dan dosa pada hatinya. Ibarat sebuah laser yang dapat menghancurkan kuman-kuman dalam tubuh. Maka lahirlah akhlak yang mulia dan baik adabnya dengan Allah dan sesama insan.

4. Tauhid Wujudi

قل هو الله أحد

“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa [ QS. Al-Ikhlas: 1 ].

Cahaya Syuhudiyah semakin kuat terpantul dalam jiwanya hingga dirinya hilang terhapus dalam Wujud Allah, ketika itu dirinya menyaksikan bahwa Allah jua memandang Allah dan dirinya tiada.

Tauhid Syuhudi dan Tauhid Wujudi

Ia bagaikan hilang cahaya lampu dalam cahaya matahari, semakin kuat sinar matahari maka cahaya lampu semakin lenyap, jika masih terlihat sedikit bayangnya cahaya lampu, ia dipanggil syuhudi, jika kuat lagi sinarnya akan tiada lagi kelihatan cahaya lampu tersebut walaupan cahaya tersebut ada maka inilah tauhid wujudi.

Tauhid ini akan menjadikan seseorang itu mampu menguasai dunia, kepemimpinan dan lainnya karena tiada lagi dirinya, kepandaiannya, kekuatannya, kekayaannya, kekuasaannya dan segala apapun sifat kesempurnaan melainkan Allah juga. Ulama tasawuf mengatakan:

وجود زنب لك

“Wujudmu adalah dosa bagimu.”

Dalam wilayah tauhid ini pemahaman tanzih dan tasybih sangat penting karena pandangan syuhudnya sudah menyatu dan telah hilang segala sesuatu selain Allah.

Allah telah tasybihkan sifat-sifat Nya di alam ini agar diri-Nya dapat dikenali namun dalam masa yang sama Allah tanzihkan bahwa segala sifat yang Allah tajallikan atau dipantulkan pada alam ini tiada menyamai akan Sifat-sifat Nya yang hakiki.

Taraqqi seorang hamba kepada Allah tiada menjadikan mereka Allah, tanazul bagi Allah tiada menjadikan Diri-Nya hamba.

Syekh Abdul Karim Al-Jili dalam Kitab al-Insan al-Kamil berkata:

“Apabila diri seorang hamba hancur akibat pantulan sifat Jalal-Nya, maka diri yang hancur akan dipersalinkan dengan sifat Jamal-Nya yang bernama Al-Latif, maka muncul diri yang baru bernama al-Ibad yang penuh dengan sifat-sifat yang halus dan indah (nafsu amarah, lawwamah, mulhamah, telah bertukar kepada nafsu muthma’inah, radliah, mardliah, dan kamilah)”.

Bagaimana mendapatkan tauhid Sufi?

Tauhid ini tiada didapatkan dengan jalan  kitab dan pengajian tetapi dengan memiliki mursyid yang benar (makrifat, ilmu, sanad, adab, dan syariatnya), menerima baiat, talqin dan bersubhha dengannya.

Kiyai Haji Zein Djarnuzi berkata, “Seseorang menjadi wali karena dia terlebih dahulu berkhidmat kepada wali.”

Adapun kriteria murysid yang arif billah adalah:

1. Nur yang berada dalam dada murysid hanya akan mengalir ke dada dengan getaran cinta yang dihiasi dengan adab dan faqir

2. Mursyid ialah mereka yang telah mencapai tauhid Wujudi dengan benar, yang mencapai Baqi lantaran senantiasa dalam muwajahah dengan Allah yakni senantiasa berada dalam keberadaan Allah

3. Ruhaniyahnya telah tenggelam ke dalam hakikat (alam lahut) hingga diperoleh ilmu ladduni, kasyf, dan ilham, waridat-waridat yang membawa dirinya tiada lagi kecintaan terhadap nafsu dan apapun di alam ini

4. Dirinya menjadi penyambung atau wasilah antara umat ini dengan Rasullallah. Tanpa cahaya nabi dalam jiwa, insan tiada akan mampu mencapai Makrifatullah

5. Para sahabat mengambil limpahan makrifat, kelezatan ruhani, akhlak, ibadah dan syariat dari Rasullallah. Rasullullah al-qur’an yang hidup di hadapan mereka

6. Karena jasad Rasullullah sudah tiada, maka insan bertaut dengan para pewaris Muhammadiyah untuk mendapatkan limpahan makrifat, kelezatan ruhani, adab serta syariat

7. Pewaris Muhammadiyah ada dua macam yaitu pewaris umum yakni ulama syariat dan pewaris khusus yakni para murysid yang telah mencapai ilmunya dari alam lahut (Sirrul Asrar).

Maka dengan peran para murysid arif billah inilah yang dapat mendakwakan dan memberkati tauhid sufi dari keempat tingkatan ini kepada masyarakat tidak hanya untuk menghilangkan perbuatan-perbuatan dosa maksiat dan juga untuk menghilangkan syirik khafi yaitu ananiah diri.

Sebagaimana penyakit-penyakit berbahaya yang tidak bisa disembuhkan kecuali dengan dokter spesialis, begitu juga penyakit bathin yang banyak terjangkit di masa ini, maka perlulah ada mursyid spesialis yang dapat mendiagnosa penyakit-penyakit itu melalui dengan terapi ruhani berupa zikir, suluk dan tawajjuh. Dan memberikan resep obat yang paten yaitu tauhid sufi. Dengan tauhid sufilah sebagai obat yang mujarab untuk dapat menghilangkan penyakit-penyakit batin yang akut yaitu anania diri.

Penulis: Budi Handoyo

Editor: Khoirum Millatin

Published 2 weeks ago on 28/07/2023 By Budi Handoyo

Dimakamkan 4 Tahun Lalu Jasad Mbah Moen Masih Utuh, Berikut Biografi KH Maimoen Zubair


Jakarta, JATMAN Online – Kabar mengejutkan sekaligus luar biasa datang dari Makkah. Jasad salah satu ulama besar Indonesia yakni KH Maimoen Zubair dikabarkan masih dalam kondisi utuh ketika makamnya di Mekkah dibongkar.


Kabar masih utuhnya jasad KH Maimoen Zubair itu sempat dibagikan oleh pengguna akun Youtube Alman Mulyana.


Alman menjelaskan bahwa makam di Kota Mekkah itu selalu dibongkar selama 4 tahun sekali. Salah satunya yang tengah melakukan kegiatan pembongkaran yakni di komplek pemakaman bersejarah Jannatul Ma’la.


Di komplek tersebut terdapat makam keluarga Rasullah. Selain itu ada pula ulama besar Indonesia yakni KH Maimoen Zubair.


“Jannatul Ma’la ini terdapat makam keluarga Rasulullah termasuk juga makam ulama besar Indonesia yaitu KH Maimoen Zubair. Hari ini dibongkar dan luar biasanya makam KH Maimoen Zubair itu yang dibongkar ditutup kembali karena jasadnya masih utuh,” ungkapnya.


Untuk membuktikannya, ia bahkan sempat menyambagi tempat jasad KH Maimoen Zubair dimakamkan.


Dari video yang diperlihatkan terlihat bekas pembongkaran makam KH Maimoen Zubair yang kemudian ditutup kembali. Ia memperlihatkan pula batu nisan yang bertulis nama KH Maimoen Zubair di atas liang yang baru saja dibongkar itu.


Biografi KH Maimoen Zubair: Keturunan Sunan Giri


KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) dikenal sebagai kiai atau ulama kharismatik dari indonesia. Selain menjadi seorang ulama, beliau juga dikenal sebagai seorang politikus. Berikut profil dan biografi KH Maimun Zubair (Mbah Moen).


Mbah Moen adalah putra pertama dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Beliau dilahirkan di Karang Mangu Sarang hari Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 H atau 1348H atau 28 Oktober 1928.


Dari jalur silsilah kakek, nasab Mbah Moen sampai kepada Sunan Giri. Berikut adalah jalur silsilah nasab Mbah Moen: KH. Zubair bin Mbah Dahlan bin Mbah Carik Waridjo bin Mbah Munandar bin Puteh Podang (desa Lajo Singgahan Tuban) bin Imam Qomaruddin (dari Blongsong Baureno Bojonegoro) bin Muhammad (Macan Putih Gresik) bin Ali bin Husen (desa Mentaras Dukun Gresik) bin Abdulloh (desa Karang Jarak Gresik) bin pangeran Pakabunan bin panembahan Kulon bin sunan Giri.


Sedangkan dari jalur silsilah Nenek yaitu, Nyai Hasanah binti Kiai Syu’aib bin Mbah Ghozali bin Mbah Maulana (Mbah Lanah seorang bangsawan Madura yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro).


Ayahnda Mbah Moen, Kiai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Kedua guru tersebut adalah sosok ulama yang tersohor di Yaman.


Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan.


Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras.


Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri.


Keluarga Mbah Moen


KH Maimun Zubair (Mbah Moen) diketahui bahwa beliau menikah dengan nyai Hj Fatimah yang merupakan anak dari KH Baidhowi Lasem. Istrinya Hj Fatimah meninggal dunia pada tanggal 18 Oktober 2011. KH Maimun Zubair (Mbah Moen) juga diketahui menikah dengan wanita bernama Nyai Masthi’ah, anak dari KH Idris asal Cepu.


Nama-nama putra-putri beliau diantaranya:


KH. Abdullah Ubab

KH. Gus Najih

KH. Majid Kamil

Gus Abd. Ghofur

Gus Abd. Rouf

Gus M. Wafi

Gus Yasin

Gus Idror

Sobihah (Mustofa Aqil)

Rodhiyah (Gus Anam)


Pendidikan


Dalam riwayat pendidikannya, sejak kecil Mbah Moen sudah dibimbing langsung oleh orangtuanya dengan ilmu agama yang kuat, mulai dari menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.


Pada usia yang masih muda, beliau sudah hafal beberapa kitab di luar kepala di antaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Selain itu, beliau juga mampu menghafal kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.


Pada tahun 1945 beliau memulai pendidikannya ke Pondok Lirboyo Kediri, di bawah bimbingan KH. Abdul Karim atau yang biasa dipanggil dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.


Setelah itu selesai, kemudian beliau kembali ke kampungnya, mengamalkan ilmu yang sudah beliau dapat. Kemudian pada tahun 1950, beliau berangkat ke Mekkah bersama kakeknya sendiri, yaitu KH. Ahmad bin Syu’aib untuk belajar dengan ulama di Mekkah.


Di antaranya adalah Sayyid Alawi al-Maliki, Syekh al-lmam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly. Disana ia belajar selama 2 tahun.


Pada tahun 1952, Mbah Moen kembali ke Tanah Air. Setiba di Indonesia Mbah Moen kemudian melanjutkan belajar ke beberapa ulama di tanah Jawa. Guru-guru beliau adalah Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abui Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.


Mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar


Setelah dirasa cukup untuk menimba ilmu, akhirnya Mbah Moen kembali ke Sarang dan mengabdi kepada masyarakat di sana.


Pada tahun 1965, Mbah Moen mendirikan Pesantren al-Anwar. Pesantren inilah kemudian menjadi rujukan para orang tua, untuk memondokan anaknya untuk belajar kitab kuning dan turats.


Sehingga akhirnya, masyarakat Sarang mengenal KH Maimoen Zubair sebagai sosok ulama yang kharismatik.


Karier Politik dan Kiprahnya di NU


Selain menjadi seorang pengasuh Al-Anwar Sarang, Pada tahun 1971, Mbah Moen terjun ke dunia politik menjadi anggota DPR wilayah Rembang hingga tahun 1978. Kemudian pada tahun 1987, beliau menjadi Anggota MPR RI utusan Jawa tengah hingga tahun 1999.


Kemudian semasa jabatan politiknya di MPR RI, Mbah Moen juga pada tahun 1985 hingga 1990 dikenal aktif dalam NU, Mbah Moen pernah menjabat sebagai Ketua Syuriah NU Provinsi Jawa Tengah. Beliau juga pernah menjadi Ketua Jam’iyah Thariqah NU.


Pada tahun 1995 hingga 1999, Mbah Moen juga aktif dalam organisasi partai seperti menjadi Ketua MPP Partai Persatuan Pembangunan, dan kemudian menjadi Ketua Majelis Syari’ah PPP sejak 2004.


Karya-Karya Mbah Moen


Nushushul Akhyar adalah kitab karangan Mbah Moen yang menjelaskan tentang penetapan awal puasa, Idul Fitri dan pembahasan terkait tempat Sa’i.

Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniah bi Sarang Al-Qudama’ merupakan kitab yang ditulis oleh Mbah Moen yang berisi biografi lengkap ulama-ulama Sarang.

Al-Ulama’ Al-Mujaddidun kitab inilah yang sering di kaji oleh Gus Baha.

Maslakuk Tanasuk kitab ini menjelaskan tentang sanad thoriqot Mbah Moen kepada Sayyid Muhammad Al Maliki dan berisi pembahasan lainnya.

Kifayatul Ashhab.

Taqirat Badi Amali.

Taqrirat Mandzumah Jauharut Tauhid.

Wafat di Makkah


Tahun 2019 saat menunaikan ibadah haji, pada hari Selasa, 6 Agustus 2019 pagi KH. Maimoen Zubair wafat. Atas keinginan sendiri (wasiat) kepada anak-anaknya, beliau ingin dimakamkan di pemakaman Ma’la di Makkah, Arab Saudi.


Beliau tutup usia pada dalam umur 90 tahun. Wallahua’lam.

 Published 1 week ago on 30/07/2023By Warto'i

Al-Muntahi; Risalah Hamzah Fansuri untuk Pakar Tasawuf


Kitab Al–Muntahî (The Adept/Pakar) adalah semacam kitab pedoman bagi orang yang sudah ‘ârif (pakar) dalam tasawuf. Naskah Al-Muntahî tertua adalah koleksi Perpustakaan Leiden Belanda dengan nomor panggil, Cod. Or. 7291 yang pernah ditransliterasi oleh Al Attas tahun 1970.


Drewes dan Brakel (1986) dalam buku The Poems of Hamzah Fansuri mencatat naskah Al-Muntahî dalam bahasa Jawa yang sekali lagi menunjukkan pengaruh Syekh Fanshur tersebut berada di sana. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen, Raden Ngabehi Ranggawarsita (1988) mencatat pengaruh kuat ajaran Hamzah Fansuri melalui Shams Al-Dîn Al-Sumatrâ’i terhadap kosmologi dan tasawuf di Pulau Jawa.


Kitab Al–Muntahî selain mengutip begitu banyak ayat al-Qur’an, hadis serta perkataan ahli sũfi juga merupakan penjelasan panjang lebar mengenai hubungan Allah Swt. dengan ciptaanya.


Secara umum, ada tiga hadis Nabi yang menjadi bahan dasar dalam kitab ini. Pertama, hadis “Man nazara ila syai’in walam yara Allah fihi fahuwa batilun” (Siapa yang melihat kepada sesuatu tapi ia tidak melihat Allah dalam sesuatu itu, maka penglihatannya adalah batil/salah). Kedua, hadis “Kuntu kanzan makhfiyan, fa ahbabtu an u’rafa fakhalaqtu al khulqa” (Aku adalah permata yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal, maka Aku menciptakan makhluk). Ketiga, hadis “Ana minallah wal ‘alamu minni” (Aku dari Allah dan alam semesta dariku).


Dalam kitab ini, Hamzah banyak menganalogikan hubungan antara Allah dengan ciptaanya seperti analogi laut dengan ombak, matahari dengan cahaya, limau (jeruk purut) dengan bagian-bagian batangnya dan lain-lain sebagainya.


Isi kitab ini sepertinya mendeskripsikan ajaran tasawuf-falsafi Hamzah Fansuri yang memuat prinsip-prinsip union mystic (waḥdah al-wujǔd) kaum imanen, bukan mengajarkan ajaran creatio ex nihilo (waḥdah al shuhǔd) kaum transenden. Karena disini diposisikan antara makhluk dan khalik adalah satu kesatuan walau berbeda dalam penampakan.


Selain itu, kitab ini juga menjabarkan pokok-pokok pemikiran ontologis Hamzah berkenaan dengan hubungan antara Tuhan, makhluk dan Nabi. Hamzah menganalogikan makna kanzan makhfiyan (permata yang tersembunyi) seperti pohon yang bersembunyi di dalam biji. Walaupun pohon tersebut belum nyata, tapi secara potensial ia ada di dalam biji. Melihat Allah hadir dalam makhluk tidak seperti melihat air yang hadir dalam kain basah, karena air dan kain itu berbeda.


Melihat hubungan demikian boleh juga seperti melihat laut dan ombak, karena walaupun namanya berbeda tapi hakikatnya satu. Bahwa ombak adalah laut yang bertalu (mengalun). Nyatanya ombak, walaupun memiliki alun dan buih, tapi hakikatnya hanyalah bayang-bayang dari lautan jua. Mata batin kita tidak boleh terhalang oleh sesuatu di luar Allah, seperti melihat ombak tapi tidak dapat melihat laut.


Sebuah hadis, Al-mu’minu mir’atul mu’min. Bahwa salah satu nama Allah adalah Mu’min, dan seorang yang beriman juga merupakan mu’min. Allah menjadi cermin bagi hambanya dan hamba pun menjadi cermin bagi Tuhannya. Karena keduanya tidak bercerai seperti firman Allah, “Dia bersama kamu di manapun kamu berada (59:23)” dan “Allah lebih dekat kepada kamu daripada urat lehermu (50:15)” dan “Ia juga yang dahulu, ia juga yang kemudian. Ia juga yang nyata, ia juga yang tersembunyi (57:3)” Seperti kata Hamzah, “Seperti mengetahui ruh dan badan, ia tidak meliputi badan dan tidak pula di luar badan. Ia tidak ada di sekalian alam, baik di luar maupun di dalam. Ia seperti kilau pada permata, tidak di dalam dan tidak diluar tetapi ia memancar (zahir).”


Al-mu’minu mir’atul mu’min itu seperti orang melihat kepada cermin. Dia tidak lagi dapat melihat cermin dan hanya melihat bayangan di dalam cermin yang walaupun rupanya ada tapi hakikatnya tidak ada. Hamzah mengutip pernyataan ibnu Arabi, “Jika engkau dapat melihat, Tuhan itu (hadir dalam) kenyataan hamba. Dan jika engkau dapat berpikir, Hamba itu (hadir dalam) kenyataan Tuhan. Jika engkau orang yang bermata dan berfikir maka kamu tidak dapat melihat. Sesungguhnya Dia (Tuhan) adalah kenyataan (hadir dalam) segala sesuatu yang ketika bersamanya adalah satu (menyatu), walaupun secara zahir terlihat dengan keragaman rupa.”


Analogi Tuhan dengan ciptaan juga seperti air hujan ketika meresap dalam tanaman. Walaupun air yang turun adalah sama tapi ketika dicerna oleh beragam tumbuhan, ia akan berbeda. Pada limau dia asam, pada tebu dia manis dan pada bambu dia pahit.


Kata Hamzah, “Awalnya tiada diketahui dan akhirnya tiada berkesudahan. Zahirnya sangat tersembunyi dan batinnya tiada dapat ditemukan. Ia memandang dirinya dengan dirinya, melihat dirinya dengan Dzat, Sifat, Af’al dan Atharnya yang walaupun namanya empat tapi hakikatnya adalah satu.”


Kata Hamzah, puncak dari semua pemahaman tersebut adalah pengalaman fana yang memuncak yang melampaui pengetahuan (ilm yakin) dan penglihatan (ain al yaqin) hingga sampai haq al yakin (keyakinan sebenar-benarnya). Hamzah menyimpulkan, Tuhan itu Esa, asal makhluk adalah esa dan (dan makhluk akan) kembali kepada Esa.


Penulis: Ramli Cibro (Dosen Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam Prodi Pengembangan Masyarakat Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh, Aceh)

Editor: Khoirum Millatin

Published 16 hours ago on 07/08/2023 By JATMAN Online