Jumat, 20 Oktober 2023

Ke-Mursyidan


Seorang mursyid—karena memiliki tugas dan tanggung jawab sangat berat—harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya:

Pertama, dia harus alim dan ahli dalam memberi pencerahan kepada para murid dalam hal ilmu fiqh, aqa’id, dan tauhid dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala purbasangka dan keragu-raguan dalam benak para murid terkait dengan hal-hal tersebut;

Kedua, mengetahui semua sifat kesempurnaan hati, semua adabnya, semua kegelisahan jiwa dan penyakitnya, serta mengetahui cara menyehatkan dan memperbaikinya;

Ketiga, pandai menyimpan rahasia para murid, tidak membuka aib muridnya tetapi selalu  mengawasinya dengan pandangan sufi yang tajam dan memperbaikinya dengan sangat bijaksana;

Keempat, selalu berlapang dada dan ikhlas, tidak ingin menerima pujian dan sanjungan, tidak membebani para murid dengan apa yang tidak sanggup mereka kerjakan atau apa yang kurang mereka suka;

Kelima, selalu bermurah hati dalam memberi pengajaran; berbagai pendapat yang lain menyatakan bahwa syarat seorang mursyid haruslah seorang wali berdasarkan dalil QS. al-Kahfi ayat 17.

Sementara itu dalam beberapa kitab seorang mursyid dipersyaratkan harus seorang yang tabakhur fil ilmi, berpengetahuan luas, sehingga mampu menjawab semua permasalahan yang diajukan oleh para murid, dan ada juga dipersyaratkan harus seorang yang kasyaf, mampu melihat kejadian di masa lampau dan di masa yang akan datang.

Baru pada sekitar tahun 1994 sebagian ulama Jawa Tengah memutuskan dalam bahtsul masail bahwa syarat menjadi seorang mursyid cukuplah mampu menjawab semua permasalahan yang diajukan oleh pengikutnya terutama yang berhubungan dengan soal ibadah.

Tawasul




Tawasul adalah mencari perantara atau jalan terabas ketika memohon sesuatu atau mendekatkan diri kepada Allah Swt. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah perantara (wasilah) menuju Allah.”

Di surat yang lain Allah berfirman: “Orang-orang yang mereka seru itu pun orangorang yang mencari jalan (wasilah) kepada Tuhan mereka (meskipun) orang-orang tersebut lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat Nya.”


Setidaknya ada empat prinsip yang harus dipegang teguh dalam bertawasul agar tidak terjatuh kepada kemusyrikan dan tercapai apa yang menjadi maksudnya. Empat prinsip itu adalah:

Pertama, tidak meyakini bahwa para nabi, wali, atau siapa saja yang ditawasuli adalah tempat memohon karena hanya Allah-lah tempat memohon dan Dzat Yang Maha Mengabulkan permohonan;

Kedua, menyadari bahwa dirinya penuh dosa dan kezaliman—sehingga tercegah dari pengabulan  ibadah dan doa—dan karena itu memakai perantaraan orang-orang yang dekat kepada Allah Swt.—sebab merekalah yang paling berhak dikabulkan permohonannya;

Ketiga, menyadari bahwa bertawasul adalah cara memohon kepada Allah yang lebih sopan;

Keempat,menyadari sepenuhnya bahwa sebenarnya seluruh anugerah Allah yang tercurah kepada makhluk-Nya selalu melalui sebuah perantara.


Bentuk tawasul bisa bermacam-macam. Namun secara garis besar, tawasul dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yaitu tawasul lewat amal kebajikan yang pernah diperbuat dan tawasul lewat orang lain.

Tata Cara Berziarah ahli Tarekat


Para pengikut Tarekat Naqsyabandiyah, Qodiriyah, dan lain-lain biasanya mempunyai tata cara tertentu ketika berziarah ke makam wali.

Tata cara tersebut, pada garis besarnya, adalah:

Pertama, mengucapkan salam;

Kedua, duduk menghadap ke ahli kubur dengan membelakangi ka’bah;

Ketiga, membaca al-Fatihah satu kali, Surat al-Ikhlas sebelas kali, dan Ayat Kursi satu kali;

Keempat, menghadiahkan pahala dari bacaan-bacaan tersebut kepada ahli kubur;

Kelima, duduk berdiam diri dan mengosongkan diri dari segala pikiran atau prasangka sehingga menyerupai kain yang bersih;

Keenam, menggambarkan dalam hati ruhani orang yang diziarahi sebagai cahaya yang lepas dari segala rabaan inderawi;

Ketujuh, menjaga cahaya tersebut di dalam hati sampai si peziarah mendapatkan sebuah pancaran cahaya dari berbagai pancaran cahaya yang ada;

Kedelapan, menjadikan gurunya wasilah antara dirinya dan orang yang diziarahi; dan

Kesembilan, menjadikan orang yang diziarahi wasilah antara dia (si peziarah) dan Allah Swt.


Para peziarah makam wali biasa mengambil bunga-bunga yang telah ditebarkan dan mengambil air yang disediakan di sekitar makam. Semua ini dilakukan sebagai upaya mendapatkan berkah (tabaruk). Semua ini dilakukan karena upaya tabaruk lewat berbagai benda yang berhubungan dengan sang wali ketika dia masih hidup sudah tidak mungkin dilakukan karena sang wali mungkin telah wafat puluhan atau ratusan tahun yang lalu. Maka bunga-bunga yang ditaburkan oleh para peziarah sebelumnya  diambil karena bunga-bunga itu dianggap telah berhubungan dengan sang wali. Air yang disediakan di makam pun diambil oleh para peziarah karena ia diyakini berasal dari mata air atau sumur yang dibuat oleh sang wali.


Fadhilah al-Fatihah



Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa Malaikat Jibril a.s. berkata kepada Rasulullah Saw.: “Wahai Muhammad, aku pernah khawatir siksa akan menimpa umatmu, namun ketika turun al-Fatihah aku merasa tenang.” Rasulullah Saw. bertanya: “Mengapa, ya Jibril?” Jibril a.s. menjawab, “Sesungguhnya Allah ta’ala pernah mengatakan bahwa neraka Jahanam disiapkan untuk umatmu. Neraka Jahanam memiliki tujuh pintu, sedangkan ayat-ayat al-Fatihah ada tujuh. Barangsiapa membaca ketujuh ayat itu, maka jadilah masing-masing ayat tersebut penutup buat tujuh pintu Jahanam, dan dengan demikian umatmu melewatinya dengan selamat.”

Memperbanyak membaca surat alFatihah bisa menambah banyaknya nikmat Allah yang diberikan kepada pembacanya. Sebab, surat al-Fatihah adalah Surat Syukur. Padahal, Allah berjanji bahwa barangsiapa mendapat nikmat dan lantas dia bersyukur maka Allah akan menambah nikmat tersebut; sebaliknya, barangsiapa mengingkari nikmat Allah maka sungguh siksa Allah sangat pedih.

Diriwayatkan dari Umar bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila engkau mengucapkan alhamdulillahi robbil alamin, maka sesungguhnya engkau benar-benar telah bersyukur kepada Allah ta’ala.” (HR. Ibnu Jarir, ad-Dailami, dan Hakim)

Surat al-Fatihah juga merupakan surat pencegah berbagai petaka dan penyakit bagi siapa saja yang membacanya.

Diriwayatkan dari Ibn Abbas dikisahkan bahwa ketika cucu Rasulullah Saw., Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib, menderita sakit yang sulit disembuhkan, Rasulullah Saw. bersusah hati, dan kemudian Allah memerintahkan Rasulullah Saw. untuk membacakan sebuah surat yang tidak ada huruf fa’-nya— karena huruf fa’ berasal dari kata âfat yang berarti petaka—ke wadah berisi air sebanyak 40 kali, dan dengan air tersebut Hasan kemudian dibasuh kedua tangannya, kedua kakinya, wajahnya, kepalanya, serta anggota tubuhnya yang tak terlihat dan yang terlihat, dan insyaallah Allah akan menghilangkan apa saja yang menyakitinya.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa menjalankan shalat 12 rakaat di waktu siang atau malam; kemudian membaca al-Fatihah, membaca surat-surat, melakukan tasyahud (tahiyat) dalam setiap dua rakaat, dan membaca salam; kemudian sesudah tasyahud pada dua rakaat yang terakhir sebelum salam melakukan sujud; kemudian dalam sujud itu membaca al-Fatihah 7 kali, Ayat Kursi 7 kali, dan mengucapkan: Lâ ilâha illallâhu wahdahu lâ syarîka lahu. Lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alâ kulli syai’in qadîr. sebanyak 10 kali. Kemudian membaca: Allâhumma innî as’aluka bima’âqidil ‘izzi min ‘arsyika wamuntahar rahmati min kitâbika wa bismikal a’zhami wa wajhikal a’lâ wakalimâtikat tâmmâti an taqdhiya hâjatî. “Kemudian menyebut hajatnya, lalu mengangkat kepalanya dan membaca salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri; maka sesungguhnya Allah Swt. akan mengabulkan hajatnya.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Jangan kau ajarkan doa ini kepada orang-orang bodoh karena doa ini mustajabah.”

Berkata Syaikh al-Imam Ahmad ibn Ali al-Buni: “Barangsiapa membaca al-Fatihah 30 kali setelah shalat subuh, kemudian 25 kali sesudah shalat zhuhur, kemudian 20 kali sesudah shalat ashar, kemudian 15 kali sesudah shalat maghrib dan 10 kali sesudah shalat isya’, sehingga hitungannya mencapai 100 kali, maka dia akan terkabul hajatnya secara cepat.”

Beliau juga mengatakan: “Barangsiapa membaca al-Fatihah 100 kali sehabis setiap shalat maktubah (shalat lima waktu), maka dia akan mencapai tujuannya dengan cepat.”

Beliau juga mengatakan: “Barangsiapa membaca al-Fatihah sebanyak hurufnya, yaitu 125 kali, setiap hari, maka dia akan mencapai tujuannya (hajatnya) dengan mudah dan cepat

Syaikh al-Imam Muhyidin ibnu Arabi menyatakan: “Barangsiapa memiliki hajat, maka baca al-Fatihah 40 kali sesudah shalat maghrib sesudah menyelesaikan shalat fardhu dan shalat sunahnya; dan tidak beranjak dari duduknya sampai ia menyelesaikan bacaannya; dan kemudian meminta kepada Allah Swt. dengan membaca doa:

Ilâhi ilmuka kâfin ‘anis suâli ikfinî bihaqqil fâtihati suâlan, wa karamuka kâfin ‘anil maqâli akrimnî bihaqqil fâtihati maqâlan, wa hashshil mâ fî dhamîrî.

Dan kemudian menyebutkan hajatnya. Sayyid Muhammad Haqy an-Nazily menyebutkan bahwa sebagian ulama berkata: “Barangsiapa melanggengkan membaca al-Fatihah di waktu sahur 41 kali, maka Allah Swt. akan membuka rezekinya dan memudahkan semua urusannya dengan tanpa susah payah.” Syaikh at-Tamimi rahimahullah berkata: “Barangsiapa melanggengkan membaca al-Fatihah dengan Basmalah di antara shalat sunah subuh dan shalat fardhu subuh sebanyak 41 kali, maka apa pun yang dicarinya akan tercapai; bila dia seorang fakir maka Allah ta’ala akan membuatnya kaya, bila dia memiliki utang maka utangnya akan lunas, bila dia sakit maka dia akan disembuhkan dengan cepat, dan bila dia lemah maka dia akan dikuatkan.” Sebagian ulama mengatakan: “Barangsiapa melanggengkan membaca al-Fatihah di waktu sahur 41 kali, maka Allah Swt. akan membuka rezekinya dan memudahkan semua urusannya dengan gampang.

Baca Inspirasi yang lain di blog kami