Sabtu, 07 Juni 2025

Syaikh Daud ath-Tha’i

Syaikh Daud ath-Tha’i: Dari Lisan Tajam ke Hati yang Lembut
________________

Pada sebuah masa ketika kata-kata dapat menjadi senjata dan kepandaian bisa menjadikan seseorang sombong, ada seorang lelaki yang justru memilih diam—bukan karena tak mampu berkata, tetapi karena sadar bahwa diam bisa menyelamatkan jiwa. Ia adalah Syaikh Daud ath-Tha’i, seorang murid istimewa dari Imam Abu Hanifah dan salah satu sufi besar yang dikenal karena ketekunan dan kezuhudannya yang luar biasa.

Daud ath-Tha’i hidup pada abad ke-2 Hijriyah. Awalnya ia adalah seorang ahli debat yang tajam, dikenal di Kufah karena logikanya yang kuat dan kefasihannya dalam berargumen. Namun titik balik hidupnya datang bukan karena kekalahan dalam debat, tetapi karena teguran ruhani dari gurunya sendiri, Imam Abu Hanifah.

Roti Kering dan Ketundukan Hati

Salah satu kisah paling terkenal tentang Syaikh Daud ath-Tha’i adalah tentang roti kering yang ia makan setiap hari. Kisah ini menjadi simbol dari transformasi spiritualnya yang sangat dalam.

Setelah meninggalkan dunia perdebatan dan memilih jalan tasawuf, Daud hidup sangat sederhana. Ia menghindari makanan mewah dan gemerlap dunia. Setiap hari, ia hanya makan roti kering yang direndam dalam air. Bukan karena miskin, tetapi karena ingin melatih dirinya untuk tidak memanjakan hawa nafsu.

Pernah suatu hari, seseorang mendatanginya dan merasa iba melihat betapa keras dan sederhananya makanan Syaikh Daud. Orang itu berkata, “Wahai Syaikh, tidakkah engkau bisa melembutkan roti itu dengan kuah daging atau minyak agar engkau lebih kuat beribadah?”

Daud ath-Tha’i menundukkan kepalanya dan menjawab dengan kalimat yang menggugah:

"Antara aku dan surga hanya ada satu dinding. Jika aku menembusnya hari ini, bagaimana aku akan menjawab kepada Tuhanku jika aku hidup memanjakan diri?"

Kata-katanya bukan berarti menolak nikmat Allah, tetapi menunjukkan kepekaan ruhani yang tinggi—bahwa kenikmatan dunia bisa menyilaukan hati dan menjauhkan dari kesadaran akan kematian.

Transformasi Jiwa: Dari Cinta Ucapan ke Cinta Keheningan

Perubahan Daud ath-Tha’i begitu dramatis hingga banyak yang tidak percaya. Dulu, ia adalah orator ulung, tetapi setelah bertaubat, ia menjadi orang yang sangat sedikit bicara. Ia lebih banyak menangis, menyendiri, dan merenung.

Dikisahkan, ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tak lagi suka berbicara padahal dulu engkau sangat fasih?”

Ia menjawab:

 "Aku dulu suka berbicara, dan banyak bicaraku membuatku lupa bahwa setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban. Kini aku takut jika satu kata keluar dari lisanku dan aku belum siap menjawabnya di hadapan Allah."

Warisan Hikmah

Syaikh Daud ath-Tha’i wafat dalam keadaan mulia, meninggalkan dunia dengan hati yang bersih dan jiwa yang khusyuk. Ia tidak menulis kitab besar atau menciptakan mazhab, tetapi warisan zuhud dan keteladanannya hidup dalam hati para penempuh jalan Allah.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah memuji Syaikh Daud dengan berkata:

"Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih zuhud daripada Daud ath-Tha’i."

Sebuah Cermin bagi Jiwa

Kisah Syaikh Daud ath-Tha’i adalah cermin yang menyorot sisi-sisi tersembunyi dalam diri kita: keinginan untuk dipuji, dimanja, dan merasa cukup dengan kata-kata. Ia mengajarkan bahwa hening bisa lebih dalam dari pidato, bahwa sederhana bisa lebih kuat dari mewah, dan bahwa kesadaran akan akhirat adalah cahaya yang tak bisa dibeli dengan dunia.

Di dunia yang serba cepat dan penuh suara, mungkin kita semua butuh sejenak menjadi seperti Daud ath-Tha’i: duduk diam, makan dengan sederhana, dan berbicara hanya ketika perlu—karena tahu bahwa setiap kata adalah amanah.

#kisahsufistik #tasawuf #sufi #lisan #zuhud #cerminjiwa #keheningan #cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar