Minggu, 08 Juni 2025

Kisah Syaikh Fudhayl bin ‘Iyadh dan Khalifah Harun Al-Rasyid

Ketika Dunia Bertemu Akhirat: Kisah Syaikh Fudhayl bin ‘Iyadh dan Khalifah Harun Al-Rasyid
_________________

Pada suatu malam yang tenang di kota Makkah, angin gurun berhembus lembut di antara dinding-dinding Masjidil Haram. Di sudut masjid, di antara para ahli ibadah yang tenggelam dalam doa dan tangis, duduklah seorang lelaki tua yang wajahnya terpancar cahaya kezuhudan. Dialah Syaikh Fudhayl bin ‘Iyadh, seorang ulama besar dan sufi yang dahulu dikenal sebagai perampok jalanan, namun kini menjadi salah satu waliyullah yang paling disegani.

Di sisi lain kehidupan, ribuan mil dari tempat itu, duduklah seorang penguasa dunia Islam yang paling berkuasa di zamannya: Khalifah Harun Al-Rasyid. Ia hidup dalam kemewahan istana Baghdad, dikelilingi oleh para menteri, harta, dan kemegahan. Namun, hatinya malam itu gelisah. Ia mendengar tentang seorang wali di Makkah yang hatinya telah ditundukkan oleh Allah — seorang lelaki yang lari dari dunia, tetapi justru dituju oleh dunia karena kebeningan jiwanya.

Khalifah pun memutuskan untuk menemuinya. ๐Ÿ’™❤️

Dengan pakaian yang sederhana dan wajah tunduk, Harun Al-Rasyid memasuki masjid dan menemui Syaikh Fudhayl. Setelah memberi salam, ia duduk di hadapan sang wali dan meminta nasihat. Syaikh Fudhayl menatap sang Khalifah dengan pandangan tajam yang menembus hati.

“Wahai Harun, engkau adalah pemimpin umat ini. Allah akan meminta pertanggungjawaban atas setiap rakyatmu — mulai dari mereka yang paling jauh hingga yang paling dekat.”

Khalifah terdiam. Wajahnya berubah pucat. ๐Ÿฅถ๐Ÿฅถ

Syaikh Fudhayl melanjutkan, suaranya dalam dan tenang.

“Jika engkau ingin selamat pada hari kiamat, cintailah apa yang dicintai Allah, dan bencilah apa yang dibenci-Nya. Jangan kau jadikan istanamu sebagai tempat tirani, karena setiap derita rakyatmu akan ditulis dalam lembaran amalmu.”

Khalifah menunduk semakin dalam. Air mata mulai mengalir di pipinya.๐Ÿ˜ญ

“Nasihatilah aku lagi, wahai Syaikh,” pintanya dengan suara lirih.

Syaikh Fudhayl menatapnya dan berkata:

“Wahai Harun, aku tahu engkau adalah orang yang dekat dengan dunia. Tapi ketahuilah, jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menjauhkannya dari dunia sebagaimana engkau menjauhkan orang sakit dari makanan yang membahayakan.”

"Bertakwalah kepada Allah, karena tak ada hijab antara doa orang yang dizalimi dan Allah. Jangan kau anggap ringan urusan rakyatmu.”

Setelah mendengar kata-kata itu, Khalifah Harun Al-Rasyid menangis tersedu-sedu, seperti anak kecil yang baru kehilangan segalanya. Ia memohon kepada Syaikh Fudhayl untuk terus mendoakannya dan memberinya nasihat. Namun, sang wali dengan tegas menolak untuk menerima pemberian atau hadiah apapun dari sang Khalifah.

"Aku berkata kepadamu demi Allah, bukan karena aku mengharapkan duniamu. Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari api neraka.”

___________๐Ÿ’Ž๐Ÿ’Ž๐Ÿ’Ž

Kisah ini terus hidup dalam sejarah, menjadi pelajaran bagi para penguasa dan rakyat tentang makna keadilan, zuhud, dan amanah. Di satu sisi ada Harun Al-Rasyid — penguasa dunia. Di sisi lain, Syaikh Fudhayl bin ‘Iyadh — penguasa hati.

Di malam itu, dunia bersujud di hadapan akhirat. Dan Khalifah, yang biasa dihormati oleh ribuan manusia, kini menunduk di hadapan seorang hamba Allah yang menang dalam pertarungan melawan nafsunya sendiri.

#khalifah #kisahsufistik #zuhud #sufi #hati #pemimpin

Sabtu, 07 Juni 2025

Syaikh Daud ath-Tha’i

Syaikh Daud ath-Tha’i: Dari Lisan Tajam ke Hati yang Lembut
________________

Pada sebuah masa ketika kata-kata dapat menjadi senjata dan kepandaian bisa menjadikan seseorang sombong, ada seorang lelaki yang justru memilih diam—bukan karena tak mampu berkata, tetapi karena sadar bahwa diam bisa menyelamatkan jiwa. Ia adalah Syaikh Daud ath-Tha’i, seorang murid istimewa dari Imam Abu Hanifah dan salah satu sufi besar yang dikenal karena ketekunan dan kezuhudannya yang luar biasa.

Daud ath-Tha’i hidup pada abad ke-2 Hijriyah. Awalnya ia adalah seorang ahli debat yang tajam, dikenal di Kufah karena logikanya yang kuat dan kefasihannya dalam berargumen. Namun titik balik hidupnya datang bukan karena kekalahan dalam debat, tetapi karena teguran ruhani dari gurunya sendiri, Imam Abu Hanifah.

Roti Kering dan Ketundukan Hati

Salah satu kisah paling terkenal tentang Syaikh Daud ath-Tha’i adalah tentang roti kering yang ia makan setiap hari. Kisah ini menjadi simbol dari transformasi spiritualnya yang sangat dalam.

Setelah meninggalkan dunia perdebatan dan memilih jalan tasawuf, Daud hidup sangat sederhana. Ia menghindari makanan mewah dan gemerlap dunia. Setiap hari, ia hanya makan roti kering yang direndam dalam air. Bukan karena miskin, tetapi karena ingin melatih dirinya untuk tidak memanjakan hawa nafsu.

Pernah suatu hari, seseorang mendatanginya dan merasa iba melihat betapa keras dan sederhananya makanan Syaikh Daud. Orang itu berkata, “Wahai Syaikh, tidakkah engkau bisa melembutkan roti itu dengan kuah daging atau minyak agar engkau lebih kuat beribadah?”

Daud ath-Tha’i menundukkan kepalanya dan menjawab dengan kalimat yang menggugah:

"Antara aku dan surga hanya ada satu dinding. Jika aku menembusnya hari ini, bagaimana aku akan menjawab kepada Tuhanku jika aku hidup memanjakan diri?"

Kata-katanya bukan berarti menolak nikmat Allah, tetapi menunjukkan kepekaan ruhani yang tinggi—bahwa kenikmatan dunia bisa menyilaukan hati dan menjauhkan dari kesadaran akan kematian.

Transformasi Jiwa: Dari Cinta Ucapan ke Cinta Keheningan

Perubahan Daud ath-Tha’i begitu dramatis hingga banyak yang tidak percaya. Dulu, ia adalah orator ulung, tetapi setelah bertaubat, ia menjadi orang yang sangat sedikit bicara. Ia lebih banyak menangis, menyendiri, dan merenung.

Dikisahkan, ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tak lagi suka berbicara padahal dulu engkau sangat fasih?”

Ia menjawab:

 "Aku dulu suka berbicara, dan banyak bicaraku membuatku lupa bahwa setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban. Kini aku takut jika satu kata keluar dari lisanku dan aku belum siap menjawabnya di hadapan Allah."

Warisan Hikmah

Syaikh Daud ath-Tha’i wafat dalam keadaan mulia, meninggalkan dunia dengan hati yang bersih dan jiwa yang khusyuk. Ia tidak menulis kitab besar atau menciptakan mazhab, tetapi warisan zuhud dan keteladanannya hidup dalam hati para penempuh jalan Allah.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah memuji Syaikh Daud dengan berkata:

"Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih zuhud daripada Daud ath-Tha’i."

Sebuah Cermin bagi Jiwa

Kisah Syaikh Daud ath-Tha’i adalah cermin yang menyorot sisi-sisi tersembunyi dalam diri kita: keinginan untuk dipuji, dimanja, dan merasa cukup dengan kata-kata. Ia mengajarkan bahwa hening bisa lebih dalam dari pidato, bahwa sederhana bisa lebih kuat dari mewah, dan bahwa kesadaran akan akhirat adalah cahaya yang tak bisa dibeli dengan dunia.

Di dunia yang serba cepat dan penuh suara, mungkin kita semua butuh sejenak menjadi seperti Daud ath-Tha’i: duduk diam, makan dengan sederhana, dan berbicara hanya ketika perlu—karena tahu bahwa setiap kata adalah amanah.

#kisahsufistik #tasawuf #sufi #lisan #zuhud #cerminjiwa #keheningan #cinta

Jejak Spiritual Malik bin Dinar

Jejak Spiritual Malik bin Dinar: Dari Pendosa ke Wali Allah ❤️๐Ÿ’ ๐Ÿ’Ž
______________

Di antara sekian banyak tokoh sufi awal yang mewarnai dunia Islam dengan keteladanan dan ketajaman rohani, nama Malik bin Dinar menjulang sebagai salah satu figur transformasional yang kisah hidupnya bagaikan mata air pelajaran. Ia bukan seorang sufi sejak lahir. Bahkan, jalan yang ia tempuh pada awalnya adalah jalan gelap yang penuh dengan dosa dan kelalaian. Namun dari sinilah, perjalanan spiritualnya justru menjadi sumber inspirasi yang tak lekang oleh zaman.

Dosa, Penyesalan, dan Titik Balik ♦️๐Ÿ˜ฉ

Malik bin Dinar lahir di Basrah dan tumbuh dalam lingkungan yang keras. Ia dikenal sebagai seorang peminum arak yang gemar berpesta. Namun hidupnya berubah total setelah peristiwa yang menyayat hati: kematian anak perempuan kecilnya yang sangat ia cintai. Konon, anak kecil itu pernah melarangnya minum arak, tapi ia malah menertawakannya.

Dalam satu riwayat yang masyhur, Malik bermimpi pada suatu malam. Dalam mimpinya, ia berada di padang Mahsyar, dikejar oleh seekor naga raksasa. Ia lari ketakutan dan mencari perlindungan, tetapi tak ada satu pun yang bisa menolong. Sampai akhirnya, muncullah anak kecil yang cantik, yang kemudian melindunginya dan menghalau naga itu. Ketika Malik bertanya siapa anak itu, ia menjawab:

“Akulah anakmu yang telah engkau kuburkan, dan doa serta amalmu belum cukup melindungimu dari dosa-dosamu.” ❤️

Mimpi itu membuat Malik tersentak. Ia menangis sejadi-jadinya dan bertobat dengan sebenar-benarnya. Sejak hari itu, ia meninggalkan dunia lamanya dan memulai perjalanan spiritual sebagai seorang ahli ibadah, perawi hadis, dan guru tasawuf.

๐Ÿ’Ž๐Ÿ’™ Zuhud yang Lembut, Tegas yang Menggelitik

Setelah tobatnya, Malik bin Dinar dikenal sebagai seorang sufi yang zuhud dan tajam dalam perkataan, namun seringkali menyisipkan humor lembut yang membuat orang merenung sekaligus tersenyum.

Kisah Mimpi tentang Neraka Basrah ๐Ÿ•ณ️๐ŸŒ‘

Dalam suatu ceramah, Malik pernah berkata sambil tersenyum kecil:

“Aku bermimpi neraka dibuka dan keluar suara, ‘Di mana penduduk Basrah?’ Aku berkata, ‘Wahai Tuhanku, bukankah Engkau sudah ampuni mereka?’ Allah berfirman, ‘Benar, tetapi mereka kembali kepada dosa seperti ikan kembali ke airnya.’”

Orang-orang tertawa geli mendengarnya, tapi sekaligus merasa tertampar. Malik menggunakan humor untuk menyadarkan umat tentang kecenderungan manusia yang mudah kembali ke maksiat setelah tobat.
_____

Kisah Tamu dan Sepotong Roti Kadaluarsa ๐Ÿž๐Ÿฅ–๐ŸŒญ

Suatu hari, seorang tamu datang ke rumah Malik. Malik hanya punya sepotong roti kering yang bahkan tak layak disebut makanan. Namun ia tetap menyambut dengan ramah dan berkata:

“Engkau tamu istimewa, karena Allah-lah yang mengutusmu untuk melihat betapa miskinnya aku.”

Tamu itu pun terharu sekaligus tersenyum. Malik tidak merasa malu dengan kemiskinannya. Ia justru melihatnya sebagai karunia—sebab dengan miskin, hatinya lebih dekat pada Allah.
_____

Kisah Orang Kaya yang Bingung ๐Ÿช™๐Ÿช™

Seorang kaya raya pernah bertanya padanya, “Mengapa engkau tidak mencari dunia seperti kami?”

Malik menjawab dengan tenang:

“Karena aku punya harta yang kalian tidak punya: keyakinan bahwa dunia ini fana dan akhirat itu kekal.”

Orang kaya itu terdiam, lalu memberikan kantong emas. Malik menolaknya sambil tertawa, “Aku baru saja bilang aku tidak butuhnya, mengapa kau kira aku sedang berjualan kata-kata?”

Warisan Hikmah ๐Ÿ’๐Ÿ’

Malik bin Dinar wafat sekitar tahun 130 H, tetapi warisan spiritual dan kata-katanya hidup sampai hari ini. Ia mengajarkan bahwa jalan menuju Allah terbuka bagi siapa saja, bahkan bagi mereka yang sebelumnya tenggelam dalam lumpur dosa. Ia adalah contoh bahwa taubat sejati bisa mengubah seorang pecandu menjadi wali, seorang pendosa menjadi pelita.

“Manusia yang paling bahagia adalah yang paling jujur dalam tobatnya.” – Malik bin Dinar

#malikbindinar #sufi #tasawuf #anekdot #kisahsufistik #taubat #wali

Syaikh Sufyan ats-Tsauri

Syaikh Sufyan ats-Tsauri: Sang Imam Zuhud yang Menangis karena Dunia
_____________________

Pada abad ke-8 M, di tengah masa keemasan ilmu-ilmu Islam, lahirlah seorang ulama besar yang namanya dikenang dengan penuh hormat hingga hari ini: Syaikh Sufyan ats-Tsauri. Beliau adalah tokoh tabi’ut tabi’in yang tidak hanya dikenal karena keluasan ilmunya dalam hadis dan fikih, tetapi juga karena kezuhudan dan ketajaman spiritualnya yang luar biasa.

Lahir di Kufah pada tahun 97 H (sekitar 716 M), Sufyan ats-Tsauri tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan ilmu. Ia belajar dari ratusan guru dan meriwayatkan ribuan hadis. Namanya begitu harum dalam dunia periwayatan hadis hingga digelari "Amirul Mukminin fi al-Hadits"—sebuah gelar kehormatan tertinggi bagi ahli hadis.

Namun, yang membuat Sufyan ats-Tsauri begitu istimewa bukan hanya ilmunya, melainkan ketakutannya yang dalam kepada Allah, serta penolakannya terhadap kemewahan dunia dan kekuasaan.

Menolak Dunia dengan Air Mata

Di antara banyak kisah hidupnya yang menggetarkan jiwa, terdapat satu anekdot yang sering diceritakan ulang oleh para ulama dan penuntut ilmu:

Suatu ketika, khalifah dari Dinasti Abbasiyah mengirim utusan kepada Sufyan ats-Tsauri. Sang khalifah hendak memberinya jabatan penting sebagai qadhi (hakim) negara. Sebuah posisi yang sangat prestisius dan memungkinkan seseorang hidup dengan kenyamanan duniawi.

Namun, apa yang dilakukan Sufyan ats-Tsauri?

Begitu mendengar maksud kedatangan utusan tersebut, ia menangis tersedu-sedu, tubuhnya gemetar, dan ia segera melarikan diri dari kota tempat ia tinggal. Ia bersembunyi di berbagai tempat, bahkan sampai ada yang mengatakan bahwa ia hidup berpindah-pindah karena menghindari panggilan jabatan itu.

Ketika ditanya mengapa ia menolak tawaran itu, padahal itu datang dari seorang khalifah dan berpotensi membawa manfaat besar, Sufyan menjawab dengan lirih:

"Jika engkau tahu apa yang ada antara aku dan Allah, niscaya engkau tidak akan mengajak aku menghadap-Nya dengan beban jabatan itu di pundakku. Sungguh, dunia itu manis dan menipu, dan aku takut akan terperdaya olehnya."

Pelajaran dari Hidupnya

Sikap Sufyan ats-Tsauri ini bukan sekadar penolakan terhadap kekuasaan, melainkan cerminan dari kepekaan ruhani yang sangat halus. Ia merasa bahwa jabatan dan kekuasaan sangat rentan membawa seseorang kepada kelalaian, bahkan jika dimulai dengan niat baik. Kezuhudan Sufyan bukan pelarian dari dunia, melainkan penjagaan agar hatinya tidak tercemar oleh cinta dunia.

Zuhud baginya bukan berarti membenci dunia, tetapi tidak meletakkan dunia di dalam hati. Ia tetap bekerja, berdagang, bahkan menginfakkan hartanya untuk orang-orang miskin. Tapi ketika dunia hendak merasuk ke dalam jiwanya lewat kekuasaan dan kehormatan semu, ia memilih menangis dan lari.

Warisan Ruhani

Sufyan ats-Tsauri wafat pada tahun 161 H di Basrah. Namun jejak hidupnya tetap membekas di hati para pecinta ilmu dan para penempuh jalan ruhani. Ia meninggalkan pesan mendalam bahwa ilmu dan kekuasaan hanya bermakna jika dijalani dengan hati yang bersih dari ambisi pribadi.

Ia pernah berkata:

 "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat."

Dan ia juga berkata:

"Zuhud terhadap dunia bukan berarti haramkan yang halal atau buang-buang harta. Tetapi zuhud adalah ketika engkau lebih yakin terhadap apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu."
_________

Kisah Syaikh Sufyan ats-Tsauri adalah pengingat bagi kita semua, bahwa kemuliaan bukanlah terletak pada jabatan atau pengakuan manusia, tetapi pada hati yang bersih dan penuh takut kepada Allah. Dalam dunia yang serba glamor dan kompetitif, keteladanan seperti Sufyan adalah oase bagi hati yang ingin kembali kepada makna sejati kehidupan.

#zuhud #tasawuf #sufi #cahayaallah #ilmu #warisan #ruhani

Dhu al-Nun al-Misri

Dhu al-Nun al-Misri: Sang Penyelam Lautan Makrifat yang Juga Bisa Membuat Orang Tertawa ๐Ÿ˜…
______________

Di tengah hiruk-pikuk pasar Kairo abad ke-9, tersembunyi sosok yang begitu sederhana—berpakaian lusuh, berjalan pelan, kadang berbicara dengan binatang, kadang dengan dirinya sendiri. Namanya Dhu al-Nun al-Misri, sang sufi besar dari Mesir yang namanya akan terukir dalam sejarah tasawuf sebagai pelopor ma'rifah—pengetahuan batin tentang Tuhan.

Namun, di balik keseriusan ilmunya, tersimpan juga senyum, canda, dan kisah-kisah lucu yang membuat ilmu hikmah terasa hangat di hati para pendengarnya.

Langkah Awal Seorang Pencari ๐Ÿ•ต️๐Ÿ•ต️

Thawban ibn Ibrahim, nama aslinya, lahir dan besar di Mesir. Sejak muda ia merasa bahwa ilmu lahiriah tak cukup menuntunnya kepada hakikat Tuhan. Maka ia menjelajahi padang pasir, mendaki gunung, bahkan menyelam dalam kesendirian untuk merenungi hakikat jiwa. Dalam perjalanan spiritualnya, ia menemukan bahwa Tuhan tak hanya bisa ditemukan dalam kitab-kitab, tapi juga dalam keheningan malam, dalam percakapan dengan ikan, dan bahkan dalam diamnya hati yang pasrah.

Kecintaannya pada Tuhan menjadikannya pribadi yang lembut, dalam, tapi juga… penuh kejutan.

Ketika Laut Mendengar Zikirnya ๐Ÿฌ๐Ÿณ๐Ÿฆˆ๐Ÿฆ๐Ÿ™๐Ÿฆ‘

Salah satu peristiwa paling terkenal dalam hidup Dhu al-Nun terjadi saat ia dituduh oleh penguasa sebagai penyebar ajaran sesat. Tuduhan itu muncul karena mereka tak memahami konsep "ma'rifah" yang ia ajarkan. Ia ditangkap dan diangkut dengan kapal menuju Baghdad untuk diadili.

Namun, di tengah laut, badai besar mengguncang kapal. Para prajurit panik. Dhu al-Nun berdiri, wajahnya tenang, lalu mulai berzikir dengan suara lembut. Ajaibnya, ombak perlahan tenang, angin mereda, dan lautan menjadi setenang cermin. Para pelaut bersaksi bahwa mereka melihat ikan-ikan berkumpul di sekitar kapal, seolah mendengarkan zikirnya.

Sejak saat itu, ia dijuluki Dhu al-Nun — “Sang Pemilik Ikan”.

Teguran Lembut untuk Si Tukang Jagal ๐Ÿ‚๐Ÿ„๐Ÿฎ

Di sebuah pagi yang sibuk di pasar Mesir, Dhu al-Nun berjalan santai sambil memegang tasbih. Ia melewati seorang tukang jagal yang sedang marah besar kepada pembantunya karena salah dalam menyembelih kambing.

"Apa kau ini bodoh?" teriak si jagal. "Menyembelih saja tak bisa!"

Dhu al-Nun mendekat dan dengan suara pelan berkata:

"Wahai saudaraku, kau marah karena dia tak tahu cara menyembelih. Tapi, sudahkah kau siapkan dirimu ketika nanti kau yang akan disembelih oleh malaikat maut?"

Tukang jagal itu terdiam. Tangannya yang sebelumnya menunjuk pun turun perlahan. Wajahnya pucat. Orang-orang pasar ikut terpaku. Tapi sebelum suasana menjadi terlalu serius, Dhu al-Nun tersenyum dan berkata,

"Kalau begitu jangan marah-marah dulu, kita semua sedang dalam antrean sembelihan yang sama."

Pasar pun meledak dalam tawa—sebuah tawa yang mengandung renungan dalam.

Ilmu Instan? Pergilah ke Pasar ๐ŸŽช๐ŸŽก

Suatu hari seorang pemuda datang kepadanya dengan penuh semangat.

"Syekh," katanya, "ajarkan aku ilmu ma'rifah secepat mungkin. Aku orang sibuk, tak sempat belajar lama."

Dhu al-Nun mengangguk dengan tenang dan menjawab,

"Kalau begitu, pergilah ke pasar dan belilah ilmu ma'rifah dengan satu dirham."

Pemuda itu bingung. "Tapi, Syekh… tak ada yang menjual ilmu seperti itu di pasar."

Dhu al-Nun menatapnya dan berkata:

"Nah, kalau kau tahu ilmu itu tak dijual di pasar, mengapa kau kira bisa mendapatkannya secara instan? Ilmu itu bukan barang, tapi buah dari kesabaran dan kejujuran hati."

Pemuda itu hanya bisa menunduk, dan mulai sejak itu ia menjadi murid sejati yang belajar perlahan, dengan hati.

Warisan Sang Sufi ๐Ÿ’Ž๐Ÿ’๐Ÿ’ 

Dhu al-Nun al-Misri wafat di Baghdad. Saat jenazahnya diantar ke pemakaman, langit terlihat mendung, dan banyak orang menangis. Seorang ulama besar yang awalnya menuduhnya sesat ikut hadir dan berkata:

"Dia adalah wali Allah yang sejati. Kita yang terlambat memahaminya."

Warisan Dhu al-Nun bukanlah dalam bentuk bangunan atau kitab yang tebal, tapi dalam kebijaksanaan yang menyentuh jiwa dan senyuman yang mengandung hikmah.

❤️๐Ÿ’™๐Ÿฉต

Dhu al-Nun al-Misri mengajarkan kita bahwa perjalanan spiritual tak selalu harus penuh ketegangan. Ada kalanya Tuhan tersenyum melalui lisan hamba-Nya yang arif. Dalam setiap candaannya, tersembunyi teguran. Dalam setiap kisahnya, tersirat petunjuk. Ia bukan hanya seorang sufi agung, tapi juga pengingat bahwa kebenaran, bila disampaikan dengan kasih dan sedikit kelakar, bisa mengetuk hati lebih dalam daripada seribu kata.

#kisahsufistik #tasawuf #sufi #sabar #jujur #jiwa #zikir

Sabtu, 31 Mei 2025

Istilah Nafsu dan Ego Diri

Membaca Sekadar Istilah Nafsu dan Ego Diri
__________

Dalam ilmu tasawuf, istilah "ego diri" dan "nafsu" merupakan konsep fundamental yang berkaitan dengan perjalanan spiritual seorang salik (pejalan menuju Tuhan). Kedua istilah ini mencerminkan sisi batin manusia yang harus dikenali, dikendalikan, dan disucikan untuk mencapai maqam kedekatan dengan Allah.

๐ŸŒ€ 1. NAFSU dalam Tasawuf

Nafsu secara etimologis berasal dari bahasa Arab ู†ูุณ yang berarti jiwa atau diri. Namun, dalam konteks tasawuf, nafsu lebih condong kepada sifat dasar manusia yang cenderung kepada keburukan dan kesenangan duniawi. Nafs adalah sumber keinginan-keinginan rendah seperti amarah, kesombongan, syahwat, cinta dunia, dan egoisme.

Tasawuf membagi nafsu ke dalam beberapa tingkatan atau maqamat, sebagaimana disarikan oleh banyak sufi, di antaranya:

๐ŸŒ‘ 1. Nafsu Ammarah (ุงู„ู†ูุณ ุงู„ุฃู…ّุงุฑุฉ ุจุงู„ุณูˆุก)

Ini adalah tingkat nafsu terendah yang memerintahkan kepada kejahatan.

Dalilnya:
"Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku."
(QS. Yusuf: 53)

Imam Al-Ghazali menyebut nafsu ini sebagai musuh terbesar manusia:

“Musuhmu yang paling besar adalah nafsumu yang ada di antara dua lambungmu.”
(Ihya’ ‘Ulum al-Din)

๐ŸŒ˜ 2. Nafsu Lawwamah (ุงู„ู†ูุณ ุงู„ู„ูˆّุงู…ุฉ)

Tingkatan ketika jiwa sudah sadar dan menyesali perbuatan dosa, tetapi belum mampu istiqamah.

Ibn ‘Arabi menafsirkan bahwa ini adalah fase “kesadaran spiritual awal” yang penting sebelum naik ke tingkatan lebih tinggi.

๐ŸŒ— 3. Nafsu Mulhamah (ุงู„ู†ูุณ ุงู„ู…ู„ู‡ู…ุฉ)

Jiwa yang sudah mulai menerima ilham dari Allah dan cenderung kepada kebaikan.

Tingkatan ini adalah masa transisi dan perjuangan.

๐ŸŒ• 4. Nafsu Muthma’innah (ุงู„ู†ูุณ ุงู„ู…ุทู…ุฆู†ุฉ)

Jiwa yang telah tenang, tenteram, dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah.

Dalilnya:
"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai."
(QS. Al-Fajr: 27–28)

Syaikh Junayd al-Baghdadi berkata:

“Tasawuf adalah keluar dari sifat-sifat kemanusiaan dan masuk ke dalam sifat-sifat ketuhanan.”

๐Ÿ”ฅ 2. EGO DIRI dalam Tasawuf (Al-Ana / Anaaniyyah)

Istilah ego diri dalam bahasa Arab disebut juga al-ana (ุฃู†ุง) yang berarti “aku”. Dalam pandangan sufi, ego adalah manifestasi dari kesadaran palsu tentang kedirian yang memisahkan hamba dari Tuhan.

Ego adalah pusat dari kesombongan (kibr), merasa memiliki, dan mencintai dunia secara berlebihan.

Ego mengklaim keberadaan sebagai mandiri dari Tuhan, padahal hakikatnya makhluk tidak memiliki daya dan upaya kecuali dari Allah.

๐ŸŒฟ Ibnu ‘Arabi menjelaskan:

“Wujud ego adalah hijab terbesar antara hamba dan Tuhan. Maka ketika ‘aku’ masih berdiri, maka Tuhan masih tersembunyi dari penglihatan kalbumu.”

๐Ÿ•Š️ Al-Hallaj, sufi yang kontroversial, mengucapkan:

“Ana al-Haqq” (Akulah Kebenaran) — yang secara metafisik ingin menyampaikan bahwa dirinya telah lebur dalam Tuhan (fana’) dan tidak lagi memiliki ego diri yang berdiri sendiri.

Dalam tasawuf:

Nafsu adalah sifat-sifat rendah manusia yang harus dilalui dan ditaklukkan.

Ego diri adalah wujud ke-aku-an yang harus dihancurkan agar hamba mengalami fana’, yakni lenyap dari kesadaran diri dan hadir sepenuhnya di hadirat Allah.

Perjalanan spiritual sufi adalah perjalanan meleburkan ego dan menyucikan nafsu hingga mencapai puncak makrifat.

“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
(Hadis, sangat populer dan penting dalam dalam konteks tasawuf).

#tasawuf #sufi #ego #nafsu #spiritual #makrifat

Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.

Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:

Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur

๐Ÿ“– Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.

#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal

Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.

Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!

Jumat, 30 Mei 2025

HIDAYAT JATI WARAHING HIDAYAT JATI

HIDAYAT JATI  WARAHING HIDAYAT JATI 

Wejangan Ajaran Islamipun Poro wali Tanah Jawa.


Iki Warahing Hidayat Jati, anuduhake dununge pangkating ngelmu makrifat wewejangan saka para Wali ing Tanah Jawa, sasedane Kanjeng Susuhunan ing Ngampeldenta, pada karsa ambuka wiridan kang dadi wijining wewejangan surasaning ngelmu kasampurnan dewe-dewe, wiyose iya uga asal saka Dalil Hadis Ijmak Kiyas, kaya kang wis kasebut ana sajroning Wirid kabeh, mungguh pepangkatane sawiji-wiji kapratelakake ing ngisor iki : 1. Kang dingin, Saankatan nalika jaman awale nagara ing Demak, para Wali kang karsa amejang amung wolu.

  1. Kanjeng Susuhunan ing Giri Kadaton, wewejangane, Wisikan Ananing Dzat.
  2. Kanjeng Susuhunan ing Tandes, wewejangane, Wedaran Wahananing Dzat.
  3. Kanjeng Susuhunan ing Majagung, wejangane, Gelaran Kahananing Dzat.
  4. Kanjeng Susuhunan ing Benang, wewejangane, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait-al-makmur.
  5. Kanjeng Susuhunan ing Muryapada, wewejangane, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait-al-muharram.
  6. Kanjeng Susuhan ing Kalinyamat, wewejangane, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait-al-mukaddas.
  7. Kanjeng Susuhunan ing Gunungjati, wewejangane, Santosaning Iman.
  8. Kanjeng Susuhunan Kajenar, wewejangane, Sasahidan.
2. Kang kapindo, ing saangkatan maneh nalika jaman akhire nagara ing Demak, para Wali karsa amejang iya amung wolu.
  1. Kanjeng Susuhunan ing Giri Parapen, wewejangane, Wisikan Ananing Dzat.
  2. Kanjeng Susuhunan ing Darajat, wewejangane, Wedaran Wahananing Dzat.
  3. Kanjeng Susuhunan ing Atasangin, wewejangane, Gelaran Kahananing Dzat.
  4. Kanjeng Susuhunan ing Kalijaga, wewejangane, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait-al-makmur, banjur ambabar sagung kang dadi parabote amatrapake panjenenganing Dzat kabeh, nanging durung urut patrap panggonane ing sawiji-wiji.
  5. Kanjeng Susuhunan ing Tembayat, kalilan dening guru Kanjeng Susuhunan Kalijaga, ambabarake wewejangane, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait-al-muharram.
  6. Kanjeng Susuhunan ing Padusan, wewejangane, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait-al-mukaddas.
  7. Kanjeng Susuhunan ing Kudus, wewejangane, Panetep Santosaning Iman.
  8. Kanjeng Susuhunan Geseng, wewejangane, Sasahidan.
Dene wewejangane kang wis kasebut ing duwur iku, surasane iya anunggal bae, amarga pada wewiridan saka pamejange Kanjeng Susuhunan Ngampeldenta kabeh,
Mula ing mangko kaimpun dadi sawiji, supaya gampanga enggonku angrasakake riwayating Dalil Hadis Ijmak Kiyas, sarehne hakekate Dzating Pangeran Kang Amaha Suci iku binasakake luwih dening gaib, tanpa warna tanpa rupa, asifat dudu lanang, dudu wadon, dudu wandu, sarta ora mawa jaman, ora arah ora enggon, amung cipta-sasmita dumunung ana waskita, wewisikane ora ana apa-apa, sakehe kang kasebut iku dudu sajatining Dzat kabeh, ananging kang wajib kaimanake amung Ingsun. Mungguh wewisikane kang wis waskita iku, manawa durung bisa anampani ing panggalih, prayoga amarsudi ing surasane pangimpuning para wewejangan kabeh, kaya kang kasebut ana Warahing Hidayat Jati mangkene. Sajatining Dzat Kang Amaha Suci iku asifat Esa, dibasakake Dzat mutlak kadim azali abadi, tegese asifat sawiji, kang amasti dingin dewe nalika isih awang uwung salawase ing kahanan kita, iya iku jueneng pribadi, ana sajroning nukat gaib kang keluwih langgeng, ing kono amedarake kudrat iradate dadi pitung kahanan, minangka warnaning Dzat, dadi wahananing sifat, asma afngal kabeh, ing ngisor iki babare sawiji-wiji.
  1. Chayu, tegese urip, dumunung sajabaning Dzat.
  2. Nur, tegese, cahya, dumunung sajabaning Dzat.
  3. Sir, tegese rahsa, dumunung sajabaning cahya.
  4. Roh, tegese nyawa, diarani sukma, dumunung sajabaning rahsa.
  5. Napsu, tegese angkara, dumunung sajabaning sukma.
  6. Akal, tegese budi, dumuning sajabaning napsu.
  7. Jasad, tegese badan, dumunung sajabaning budi.
Denen Chayu, iku kang kapasrahan pangawasaning Dzat, kinarsakake anguripi kahananing cahya, rahsa, sukma, napsu, budi, badan kabeh, sumarambah saka ing wiwitan tumeka ing wekasan, mungguh wewijangane kaya ing ngisor iki.
  1. Ing nalika kayu anguripi kahananing cahya, sumarambah ing netra ing netra, - wahanane dadi bisa aningali iya iku paningaling Dzat angagem ing netra kita.
  2. Ing nalika kayu anguripi kahananing rahsa, sumarambah ing grana, - wahanane dadi bisa angganda, iya iku panggandaning Dzat angagem ing grana kita.
  3. Ing nalika kayu anguripi kahananing suksma, sumarambah ing lidah, - wahanane dadi bisa angandika, iya iku pangandukaning Dzat angagem lesan kita.
  4. Ing nalika kayu anguripi kahananing napsu, sumarambah ing talingan, - wahanane dadi bisa amiyarsa, iya iku pamiyarsaning Dzat angagem ing karna kita.
  5. Ing nalika kayu anguripi kahananing budi, sumarambah ing ati, - wahanane dadi bisa birahi anduweni karsa, iya iku karsaning Dzat angagem ing ati kita.
  6. Ing nalika kayu anguripi kahananing jasad, sumarambah ing getih, - wahanane dadi bisa ambekan, banjur anuwuhake wulu kuku sapadene, iya iku afngaling Dzat angagem ing saulah kita,
saestu ora beda ing nalika amratandani afngal sajroning alam, banjur bisa amolahake srengenge rembulan angin sapanunggalane, saisen-isening alam kabeh , pada dumunung ana ing purba wisesaning Dzat kaya kang kasebut ing ngisor iki :
  • Dzat amurba Kayu, tegese Dzat iku witing urip.
  • Chayu amisesa Nur, tegese urip iku amengku wahyaning cahya.
  • Nur kang misesa Sir, tegese cahya iku amengku uriping suksma.
  • Sir amisesa Roh, tegese rahsa iku amengku uriping suksma.
  • Roh amisesa Napsu, tegese suksma iku amengku uriping napsu.
  • Napsu amisesa Akal, tegese napsu iku amengku uriping budi.
  • Akal amisesa jasad, tegese budi iku amengku uriping jasad.
Mungguh baline mangkene. Jasad kawisesa dening budi, budi kawisesa dening napsu, napsu kawisesa dening suksma, suksma kawisesa dening rahsa, rahsa kawisesa dening cahya, cahya kawisesa dening urip, urip kapurba Dzat, Mulane wahananing urip iku tanpa wangenan karo ananing Dzat, iya urip kita iku Dzating Gusti Kang Amaha Suci Sajati, aja uwas sumelang ing galih.


Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.

Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:

Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur

๐Ÿ“– Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.

#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal

Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.

Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!

Abu al-Qasim al-Junayd ibn Muhammad al-Baghdadi

Sekali Lagi tentang Abu al-Qasim al-Junayd ibn Muhammad al-Baghdadi
_________________

Syaikh Junayd al-Baghdadi dikenal sebagai sufi berilmu (สฟฤlim) dan beramal (‘ฤbid), menguasai ilmu fikih dan hadis, serta sangat dihormati oleh para ulama.

๐ŸŒฟ Konsep-konsep Khas Tasawuf Syaikh Junayd al-Baghdadi

1. Tasawuf Berdasarkan Syariat

Syaikh Junayd menegaskan bahwa tasawuf tidak boleh keluar dari kerangka al-Qur’an dan Sunnah. Ia menolak tasawuf yang hanya berdasarkan perasaan atau pengalaman pribadi tanpa sandaran dalil.

๐Ÿ“œ "Semua jalan tertutup bagi makhluk kecuali jalan Nabi Muhammad ๏ทบ. Siapa yang tidak mengikuti jejak beliau, maka ia berada dalam kesesatan."
— al-Risalah al-Qushayriyah

Beliau membangun apa yang disebut sebagai tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang tunduk kepada hukum-hukum fikih dan akhlak syar’i.

2. Fana’ dan Baqa’: Kehancuran Diri dan Keberadaan Bersama Allah

๐ŸŒŒ Fana’ (ูู†ุงุก)

Fana’ menurut Syaikh Junayd adalah:

Penghapusan ego, kehendak diri, dan kesadaran akan diri sendiri.

Bukan hilang secara fisik, tetapi penghentian dominasi nafsu dan keakuan (ana/ego) dalam hati dan jiwa.

๐Ÿ“œ "Tasawuf adalah bahwa Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkanmu bagi-Nya."

Fana’ dalam pandangan Syaikh Junayd berlangsung dalam kesadaran penuh, bukan dalam ekstase mabuk (sukr).

๐ŸŒŸ Baqa’ (ุจู‚ุงุก)

Setelah fana’, seorang sufi akan memasuki keadaan baqa’, yaitu:

Kembali sadar, tetapi dengan jiwa yang telah dibentuk dan didominasi oleh kehadiran Ilahi.

Beliau hidup bukan dengan keinginan nafsunya, tapi dengan kehendak Allah.

๐Ÿ“œ "Sufi adalah seseorang yang Allah matikan dirinya dari dirinya sendiri, dan menghidupkannya dengan Diri-Nya."

3. Sahw (Kesadaran) vs. Sukr (Ekstase)

Syaikh Junayd berseberangan dengan tokoh seperti al-Hallaj yang mengalami sukr atau “kemabukan spiritual”. Ia memilih jalan sahw (kesadaran dan kewaspadaan).

Menurutnya, tasawuf sejati adalah tetap sadar dan terjaga meski telah mengalami penyatuan batin dengan Allah.

Jalan sahw menuntut disiplin, kesabaran, dan pengendalian diri, bukan sekadar tenggelam dalam rasa cinta mistik.

๐Ÿ“œ "Orang sufi bukanlah yang berbicara tentang fana’, tetapi yang berjalan dalam adab ketika fana’ terjadi."

4. Ma‘rifatullah (Pengetahuan Spiritual Langsung)

Syaikh Junayd memandang ma‘rifat sebagai:

Puncak pengalaman spiritual, yaitu pengetahuan langsung kepada Allah, bukan melalui dalil rasional, tetapi melalui penyingkapan (kasyf).

Ma‘rifat hanya diberikan kepada mereka yang telah menyucikan jiwa dan meninggalkan keakuan.

Beliau membedakan antara:

- Ilmu (yang dicapai dengan akal)

- dan Ma‘rifat (yang dicapai dengan penyucian dan pengalaman rohani).

5. Al-Tawhid (Tauhid Hakiki)

Menurut Syaikh Junayd, tauhid bukan hanya keyakinan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”, tapi:

Menafikan segala sesuatu selain Allah dalam hati dan kehendak.

Bahkan, dalam cinta sejati kepada Allah, tidak boleh ada cinta kepada diri sendiri.

๐Ÿ“œ "Tauhid adalah bahwa engkau satu-satunya melihat Allah dalam setiap sesuatu, dan tidak melihat bersama-Nya sesuatu pun."

6. Adab dan Zuhud

Syaikh Junayd menekankan pentingnya:

Zuhud: Melepaskan keterikatan terhadap dunia, bukan dengan meninggalkan dunia, tetapi dengan hati yang tidak tergantung padanya.

Adab: Etika batiniah terhadap Allah, makhluk, dan diri sendiri. Ia menilai bahwa tasawuf adalah adab dari awal hingga akhir.

๐Ÿ“œ "Tasawuf seluruhnya adalah adab. Maka siapa yang bertambah adabnya, bertambahlah hakikatnya."

๐Ÿ“š Beberapa Ajaran Khusus Syaikh Junayd

Tentang ibadah: "Aku menyembah Allah bukan karena takut neraka atau mengharap surga, tetapi karena Dia memang layak disembah."

Tentang cinta: "Pecinta sejati adalah yang lebur dalam kecintaan kepada Sang Kekasih, tak menyisakan kehendak untuk dirinya sendiri."

๐Ÿ•Š️ Pengaruh dan Warisan

Junayd menjadi model tasawuf moderat dan rasional, berpengaruh pada tokoh-tokoh seperti:

Abu Hamid al-Ghazali

Abd al-Qadir al-Jilani

Abu al-Qasim al-Qushayri

Imam Harith al-Muhasibi

Tasawuf yang beliau wariskan menghindari jalan ekstrim dan menolak gugurnya syariat atas nama pengalaman spiritual.
____

Konsep tasawuf Syaikh Junayd al-Baghdadi ditandai dengan:

* Keseimbangan antara syariat dan hakikat

* Kedalaman spiritual yang berpijak pada kesadaran, bukan ekstase

* Tauhid dan ma‘rifat sebagai puncak perjalanan

* Etika (adab) sebagai fondasi

Ia adalah jembatan antara dunia fikih dan tasawuf, antara akal dan rasa, antara lahir dan batin.

#junaydalbaghdadi #tasawuf #sufi #fana #baqa #makrifat #tauhid #fiqih #spiritual

Foto: sekadar ilustrasi

Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.

Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:

Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur

๐Ÿ“– Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.

#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal

Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.

Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!

MARTABAT TUJUH DAN KEHENINGAN YANG MENYINGKAPKAN WAJH ALLAH

MARTABAT TUJUH DAN KEHENINGAN YANG MENYINGKAPKAN WAJH ALLAH

Ada saat ketika manusia harus berhenti. Berhenti dari gemuruh ambisi, dari hiruk-pikuk pencapaian, dari kebisingan dunia yang memabukkan. Di titik hening itu, ada suara lirih yang memanggil: “Kau dari siapa, untuk apa, dan hendak ke mana?” Suara yang kadang kita abaikan, tapi tak pernah benar-benar pergi. Itulah panggilan ruh, isyarat ilahi, tanda bahwa kita telah terlalu jauh dari asal. Dan tasawuf, dengan kelembutan hikmahnya, datang bukan untuk mencela langkah yang tersesat, tetapi untuk membukakan jalan pulang.

Ilmu martabat tujuh bukan sekadar konsep kosmologi dalam khazanah sufisme. Ia adalah peta rahasia perjalanan wujud, peta pulang menuju Wajah Alloh yang Mahasuci. Martabat demi martabat adalah anak tangga yang mesti dinaiki ruh untuk kembali mengenal hakikat dirinya. Sebab siapa yang tidak mengenal dirinya, niscaya akan terus tersesat dalam bayang-bayang yang fana. Dalam ungkapan para ‘arif billah: “Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa Robbahu” — “Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia akan mengenal Tuhannya.” Bukan sabda Nabi, tapi hikmah yang lahir dari mata batin yang tercerahkan.

Martabat pertama: Ahadiyah — Keberadaan Mutlak, keheningan Wujud Alloh yang belum terjamah nama, belum berisi rupa, belum berdenyar gerak. Di sana tidak ada selain-Nya. Lalu muncullah Wahdah, keesaan dalam ilmu, tempat di mana semua kemungkinan masih menjadi potensi. Selanjutnya Wahidiyah, ketika sifat dan asma’ mulai menyatakan diri dalam cakrawala ilmu-Nya. Dilanjutkan martabat Arwah, saat ruh-ruh tercipta dari perintah-Nya yang lembut: “Kun”, maka jadilah. Lalu ke alam Mitsal, bentuk-bentuk halus yang belum berjasad, kemudian ke Ajsam, jasad kasar tempat ruh diuji. Hingga akhirnya martabat Insaniyah, manusia lahir ke dunia, lengkap dengan akal, hawa, dan amanah.

Namun tak semua manusia menyadari bahwa dalam tubuhnya ada rahasia langit yang tersimpan. Bahwa ia bukan hanya segumpal daging, melainkan tempat tajalli—penampakan sifat-sifat Alloh. Ia adalah cermin, tempat Wujud Ilahi memantulkan diri-Nya. Tapi cermin itu penuh debu nafsu, tertutup kabut ego, tergores luka dunia. Maka hidup menjadi gelap, arah pun hilang.

Tasawuf hadir agar manusia membersihkan cermin itu, agar cahaya-Nya kembali memancar. Melalui dzikir, mujahadah, khalwah, dan riyadhah, ruh kembali menapak ke asalnya. Dari jasad menuju mitsal, dari arwah menuju wahidiyah, lalu larut dalam samudera wahdah, hingga tenggelam dalam lautan ahadiyah. Inilah jalan fana', jalan pulang, di mana tidak tersisa apapun dalam diri kecuali Dia.

Seperti dikatakan oleh Syekh Abu Yazid al-Busthami: “Ma ra’aytu syay’an illa ra’aytu Alloh qoblahu wa ba‘dahu wa ma‘ahu” — “Tiada sesuatu yang aku lihat kecuali aku melihat Alloh sebelumnya, sesudahnya, dan bersamanya.” Inilah kesadaran ma‘rifat, di mana seluruh keberadaan adalah wajah-Nya, dan hidup menjadi dzikir yang tak pernah selesai.

Tapi jalan ini bukan jalan mudah. Ia bukan jalur kesalehan palsu, bukan sekadar ritualisme tanpa kesadaran. Jalan ini menuntut penghilangan diri, peluruhan keakuan, pembakaran nafsu. Sebab selama “aku” masih mengaku, selama ego masih hidup, selama dunia masih menjadi kiblat, maka martabat ruhani tak akan pernah tercapai.

Syekh Abdul Karim al-Jili menulis dalam al-Insan al-Kamil: “Al-insan huwa al-kawn al-jami‘, fihi tajalla al-Haqqu bi jamฤซ‘i asma’ihi wa sifatihi” — “Manusia adalah semesta yang mencakup segalanya, di dalamnya Alloh menampakkan seluruh nama dan sifat-Nya.” Maka siapa yang mengenal dirinya sejatinya sedang mengenal semesta, dan siapa yang mengenal semesta dengan benar, akan sampai kepada Wujud yang Esa.

Kesadaran martabat tujuh mengajarkan bahwa hidup ini adalah misi untuk menyadari. Menyadari bahwa dunia bukan tempat tinggal, melainkan tempat singgah. Menyadari bahwa tubuh bukan identitas sejati, melainkan wadah sementara. Menyadari bahwa segala yang tampak ini hanyalah bayangan, dan hakikatnya hanyalah Alloh. Maka, tugas kita adalah berjalan melampaui lapisan-lapisan martabat itu, menembus kabut, dan sampai kepada terang ma‘rifat.

Inilah saatnya kita tidak hanya hidup, tapi hadir. Hadir dalam tiap detik dengan kesadaran ilahiyah. Hadir dalam sujud bukan sekadar ruku’ tubuh, tapi luluhnya ruh di hadapan-Nya. Hadir dalam dunia tapi tidak dikuasai dunia. Hadir dalam jasad, tapi ruh tetap menyala.

Karena pada akhirnya, sebagaimana dikatakan Syekh Ahmad Zarruq: “Man lam yadkhulu ashlahu lam yablugh washlahu” — “Siapa yang tak masuk ke asalnya, ia tak akan sampai pada tujuan akhirnya.” Dan tujuan kita bukan sekadar surga, bukan pula pahala. Tujuan kita adalah Wajah-Nya. Tujuan kita adalah kembali. Pulang.

GUS IMAM

Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.

Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:

Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur

๐Ÿ“– Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.

#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal

Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.

Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!

Syaikh Junayd al-Baghdad

Syaikh Junayd al-Baghdadi (w. 910 M/298 H) dalam Pandangan Pendek Kita
_________

Beliau adalah salah satu tokoh besar dalam sejarah tasawuf Islam klasik. Ia dikenal sebagai "Sayyid al-Ta’ifah" (pemimpin kaum sufi) dan dianggap sebagai tokoh yang menyelaraskan antara syariat dan hakikat, antara ilmu fikih dan tasawuf. Perjalanan spiritual beliau mencerminkan transformasi dari ilmu formal ke penyaksian batin (kasyf), namun tetap dalam bingkai ketat hukum Islam.

๐Ÿ•‹ Asal-usul dan Latar Belakang

Nama lengkapnya Abu al-Qasim al-Junayd ibn Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Baghdadi.

Lahir di Baghdad dan tumbuh di lingkungan keilmuan.

Ia merupakan keponakan dan murid dari Sari al-Saqati, seorang wali besar yang pertama kali memperkenalkannya kepada jalan sufi.

๐ŸŒฟ Perjalanan Spiritual (Sulลซk)

1. Awal Perjalanan:

Junayd memulai sebagai seorang ahli fikih. Ia duduk dalam majelis para ulama besar seperti Abu Tsaur dan al-Harith al-Muhasibi.

Namun, di bawah bimbingan pamannya, ia mulai menempuh jalan spiritual (tasawuf) secara mendalam.

2. Titik Transformasi:

Junayd mengasingkan diri selama 40 tahun, menghabiskan waktu dalam uzlah (khalwat), zikir, dan mujahadah.

Dalam masa khalwatnya, ia sering berkata:

“Aku telah menghabiskan waktu antara Allah dan diriku selama 40 tahun tanpa makhluk mengetahui keberadaanku.”

3. Tingkat Ma'rifat:

Ia mencapai maqฤm makrifat yang tinggi, namun tetap memegang teguh syariat.

Junayd dikenal dengan pendekatan "sober sufi" (tasawuf al-shuhลซd bi al-wiqฤr), berbeda dari mereka yang tenggelam dalam ekstase seperti Hallaj.

๐Ÿ“œ Ajaran dan Ucapan Penting

Junayd sangat menekankan keselarasan antara lahir (syariat) dan batin (hakikat):

"Jalan kami ini terikat dengan al-Qur'an dan Sunnah. Barang siapa tidak membaca al-Qur'an, tidak menulis hadis, dan tidak mengerti fikih, maka tidak boleh diteladani dalam perkara ini (tasawuf).”

Ia juga berkata tentang tauhid:

"Tauhid adalah pemisahan antara yang Qadim (Allah) dan yang hadits (makhluk).”

๐ŸŒŸ Komentar Ulama Tentang Syaikh Junayd

1. Imam al-Qushayri:

“Junayd adalah imam mereka (kaum sufi), seorang yang faqih dan ahli tasawuf sekaligus. Ucapannya adalah hujjah, dan maqamnya adalah puncak dari orang-orang arif.”

2. Al-Sulami (pengarang Tabaqรขt al-Sufiyyah):

“Ia adalah imam para arifin dan rujukan bagi seluruh ahli tasawuf.”

3. Imam al-Dhahabi (dalam Siyar A’lam al-Nubala’):

“Ia adalah teladan dalam ilmu, ibadah, dan wara’. Beliau berpegang teguh pada sunnah dan menolak penyimpangan dalam jalan tasawuf.”

4. Al-Nawawi:

"Syaikh Junayd adalah wali agung yang kalamnya dijadikan pegangan oleh para sufi sejati.”

๐Ÿ›️ Warisan Spiritual

Ia adalah guru dari tokoh-tokoh besar seperti:

Abu Bakr al-Shibli

Abu Hamzah al-Baghdadi

Memengaruhi banyak tarekat, termasuk Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, yang mengadopsi prinsip tasawuf yang seimbang (syariat dan hakikat).

Syaikh Junayd al-Baghdadi adalah contoh teladan ulama-sufi yang tidak melepaskan akarnya dari syariat. Ia membuktikan bahwa makrifat tidak akan sah kecuali berjalan di atas tuntunan nubuwwah. Warisannya terus menginspirasi kaum sufi hingga kini sebagai simbol kebeningan hati yang terjaga dalam bingkai hukum Ilahi.

#tasawuf #junaydalbaghdadi #makrifat #tasawuf #nubuwwah #tarekat #syariat

Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.

Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:

Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur

๐Ÿ“– Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.

#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal

Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.

Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!

Lihat Kedalam

 

LIHAT KE DALAM

Tanggal: 30 Mei 2025 | Di Ambil dari Tulisan: Majelis Dzikir Tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah Nusantara

Pendahuluan

ู…ู† ุทู„ุจ ู…ูˆู„ุงู†ุง ุจุบูŠุฑ ู†ูุณู‡ ูู‚ุฏ ุถู„ ุถู„ุงู„ุง ุจุนูŠุฏุง (ุฑูˆุงู‡ ุงุจู† ู…ุงุฌู‡) Barang siapa mencari Tuhan (Alloh SWT) dengan cara lain diluar dirinya sendiri, Maka ia telah Tersesat dengan Kesesatan yang jauh. (HR.ibnu Majah)

Ma’rifatullah bukan sekadar dipelajari, melainkan untuk dialami secara langsung. Tujuannya bukan menjadi ahli kitab, tetapi mampu mengeksplorasi dimensi rohani. Sebab apa pun kitabnya dari yang klasik hingga modern, semuanya mengajak kita untuk masuk ke dalam. Itulah inti pesannya.

Namun kenyataannya, banyak yang hanya sampai di permukaan. Mereka mencoba duduk diam, menutup mata, dan berusaha menyelam ke dalam diri, namun yang muncul justru pikiran tak kunjung diam. Perasaan datang silih berganti. Jiwa pun mulai gelisah. Akhirnya, tasbih pun dibanting.

Penjelasan

Begitulah yang sering dialami oleh para pejalan thariqat. Muncul tanya dalam hati: Apa yang sebenarnya sedang aku masuki? Yang terasa hanya kegelapan, kesendirian, dan kehampaan. Dzikir tak lagi menggetarkan hati sanubari. Bahkan terlintas dalam benak: Untuk apa semua ini? Lama-kelamaan, dzikirullah pun terasa membosankan. Tak sedikit yang mulai membandingkan: lebih baik berburu dunia, mengejar rupiah, setidaknya ada hasil yang tampak. Sementara duduk dalam dzikir terasa hanya begitu-begitu saja. Stagnan. Bahkan banyak yang hanya ikut-ikutan. Menjadi partisipan dalam thariqat tanpa sungguh-sungguh menyelam ke dalam. Ini bahaya besar baginya. Perjalanan suci ini pun tak berdampak, hanya menjadi ajang euforia dan komunitas sosial. Padahal, thariqat seharusnya menimbulkan dorongan kuat agar ruhani kita tersambung kepada Sumber-Nya. Dengan sungguh-sungguh. Sebuah jihad ke dalam. Bukan ke luar. Di sinilah pentingnya pembimbing yang telah menembus dimensi ruhani untuk memvalidasi dzikir si salik, agar sang salik tidak menyimpulkan sendiri perjalanan yang belum pernah ia lalui serta tak terperangkap dalam alam sadar, atau bahkan terseret ke alam bawah sadar yang penuh godaan keajaiban. Sebab tanpa bimbingan dan tanpa dzikir yang mengandalkan "Potensi Tak Terhingga (Nur Ilahi)" banyak yang terseret pada fenomena, bukan naik ke dimensi ruhani, melainkan terjebak dalam keanehan cari keramat dan halusinasi, yang justru mengaburkan tujuan. Padahal, yang seharusnya tumbuh bukanlah keanehan melainkan keluhuran: Ilahi anta maqsudi, waridhaka mathlubi. Itu sebabnya, Ayahanda Guru Prof. DR SS Kadirun Yahya menegaskan bahwa “Tujuan berthariqat untuk mendapatkan getaran dan gelombang Tuhan” agar rohani berhasil bersambung kembali ke Sumber-Nya. Bukan selain-Nya dan jangan mengandalkan kemampuan diri sendiri yang terbatas.

Penutup

Maka dari itu, dzikir itu mesti mengandalkan Nur Ilahi, dibimbing, divalidasi serta dengan disiplin tinggi dan kesabaran yang besar, maka lompatan dimensional terjadi secara otomatis, sekaligus pikiran terlampaui secara alamiah.


Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.

Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:

Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur

๐Ÿ“– Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.

#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal

Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.

Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!

Kamis, 29 Mei 2025

Penjelasan tentang rahasia Nafas, Amfas, Tanafas, Nufus

 

Penjelasan tentang rahasia Nafas, Amfas, Tanafas, Nufus

Tanggal: 30 Mei 2025 

Pendahuluan

Penjelasan tentang rahasia Nafas, Amfas, Tanafas, Nufus dalam perspektif tasawuf sangat dalam dan menyentuh inti penciptaan manusia. Dalam ilmu hakikat dan ma'rifat, istilah-istilah ini merujuk pada proses spiritual dan ontologis bagaimana wujud manusia hadir dari alam ghaib ke alam nyata, dari hakikat ke syariat.

Isi Utama

1. Nafas (ู†َูَุณ)

Nafas secara bahasa berarti “hembusan” atau “nafas”. Dalam konteks tasawuf, nafas adalah Sirrul-Hayat—rahasia kehidupan. Ia adalah hembusan ilahiyah dari Tuhan ke dalam ruh manusia. Ketika manusia ditiupkan ruh dalam rahim (biasanya di usia kandungan 120 hari), itulah saat nafas Ilahi masuk—nafas rahmaniyyah—yang menjadi sumber kehidupan makhluk.


> Dalam Al-Qur’an: “Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya...” (QS. As-Sajdah: 9)


Makna๐™ฃ๐™ฎ๐™–: Nafas adalah jalan penghubung antara ruhani dan jasmani. Manusia hidup karena nafas, dan nafas ini adalah titisan dari Nafas Tuhan, yang disebut “Nafasul Rahman”—hembusan kasih sayang Tuhan.

2. Amfas (ุฃَู†ูَุงุณ)

Amfas adalah bentuk jamak dari nafas. Ini menggambarkan proses terus-menerus dari nafas ilahiyah. Dalam tradisi sufi, setiap nafas yang diambil manusia adalah pancaran dari wujud Tuhan, dan di dalamnya tersimpan rahasia ciptaan dan ketetapan-Nya.


> “Setiap amfas adalah amanah, maka jangan sampai nafasmu berlalu tanpa dzikir.”


Kaitan dengan kehidupan: Amfas menjadi tanda hidupnya hati. Setiap hembusan yang tidak disertai kesadaran kepada Tuhan, menjadi kerugian besar dalam pandangan ruhani.

3. Tanafas (ุชَู†َูُّุณ)

Tanafas berarti “proses bernafas”. Dalam konteks batin, ini adalah dinamika antara pengambilan (inhalasi) dan pelepasan (ekshalasi) energi ruhani. Para arifin mengatakan bahwa setiap tanafas yang sadar (muraqabah an-nafas) adalah bentuk ibadah. 

 > Di sinilah muncul praktik “muraqabah an-nafas” — menjaga kesadaran dalam setiap hembusan nafas.

Maknanya: Proses tanafas secara spiritual adalah cerminan jalannya ruh dari alam azali ke alam dunia—menyerap rahmat, melepaskan keluh kesah, hingga kembali pada asal.

4. Nufus (ู†ُูُูˆุณ)

Nufus adalah jamak dari nafs—jiwa. Ini menyangkut tahapan-tahapan jiwa dalam perjalanan hidup manusia. Mulai dari nafs ammarah (jiwa yang memerintah kepada keburukan) hingga nafs muthma’innah (jiwa yang tenang, kembali kepada Tuhan).

Kaitan dengan kelahiran:

Sejak dalam kandungan, manusia sudah memiliki nufus—jiwa yang terbungkus fitrah. Ketika lahir ke dunia, jiwa ini perlahan diselimuti oleh hijab dunia, hawa nafsu, dan ego. Perjalanan hidup adalah proses menyucikan nufus ini agar kembali kepada Tuhan dalam keadaan murni. Hubungan dari Kandungan hingga Lahir 1. Dalam kandungan (rahim): Nafas Ilahi ditiupkan, jiwa mulai hidup. 2. Menjelang lahir: Proses tanafas awal dimulai, tubuh bersiap menyambut dunia. 3. Saat lahir: Nafas pertama adalah tanda masuknya ruh ke alam dunia. Saat itu, amfas ilahiyah menyertai. 4. Hidup di dunia: Manusia diberi waktu (dihitung dari nafas ke nafas) untuk mengenal asalnya. 5. Tujuan hidup: Menyadari bahwa setiap nafas adalah pinjaman, dan setiap hembusan membawa kita mendekati kematian (dan kembali).

Penutup

> “Sebelum engkau mengenal Tuhan dengan kata, kenalilah Dia melalui nafasmu. Sebab setiap nafas adalah kalimat rahasia yang Dia bisikkan ke dalam dada hamba-Nya.”


Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.

Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:

Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur

๐Ÿ“– Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.

#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal

Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.

Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!

Jangan Meninggalkan Dzikir

Al-Hikam Pasal 57


Jangan Meninggalkan Dzikir

ู„ุงَุชุชู€ْุฑُูƒِ ุงู„ุฐِูƒْุฑَ ู„ِุนَุฏَู…ِ ุญُุถูˆُุฑِูƒَ ู…َุนَ ุงู„ู„ู‡ِ ููŠู‡ِ ู„ุงَู†َّ ุบูู„َุชَูƒَ ุนู† ูˆُุฌُูˆุฏِ ุฐِูƒุฑِู‡ِ ุฃَุดَุฏُّ ู…ู† ุบَูู„َุชِูƒَ ูู‰ ูˆُุฌูˆُุฏِ ุฐِูƒุฑِู‡ِ ูุนَุณุงَู‡ُ ุฃَู†ْ ูŠَุฑْูَุนَูƒَ ู…ู† ุฐِูƒุฑٍ ู…ุน ูˆุฌูˆุฏِุบَูู„َุฉٍ ุฅู„ู‰ ุฐِูƒุฑٍ ู…ุนَ ูˆُุฌูˆุฏِ ูŠَู‚ุธุฉٍ ، ูˆู…ู† ุฐูƒุฑٍ ู…ุนَ ูˆُุฌูˆุฏِ ูŠَู‚ุธุฉٍ ุฅู„ู‰ ุฐِูƒุฑٍ ู…ุนَ ูˆُุฌูˆุฏِ ุญُุถูˆُุฑٍ، ูˆู…ู† ุฐูƒุฑٍ ู…ุนَ ูˆُุฌูˆุฏِ ุญُุถูˆُุฑٍ ุฅู„ู‰ ุฐِูƒุฑٍ ู…ุนَ ูˆُุฌูˆุฏِ ุบู€َูŠْุจَุฉٍ ุนู…َّุง ุณِูˆู‰َ ุงู„ู…َุฐูƒู€ُูˆุฑِ ูˆَู…ุงَ ุฐٰู„ูƒَ ุนู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ِ ุจِุนَุฒِูŠุฒِ

"Jangan meninggalkan dzikir, karena engkau belum bisa selalu ingat kepada Alloh di waktu berdzikir, sebab kelalaianmu terhadap Alloh ketika tidak berdzikir itu lebih berbahaya dari pada kelalaianmu terhadap Alloh ketika kamu berdzikir." Semoga Alloh menaikkan derajatmu dari dzikir dengan kelalaian, kepada dzikir yang disertai ingat terhadap Alloh, kemudian naik pula dari dzikir dengan kesadaran ingat, kepada dzikir yang disertai rasa hadir, dan dari dzikir yang disertai rasa hadir kepada dzikir hingga lupa terhadap segala sesuatu selain Alloh. Dan yang demikian itu bagi Alloh tidak berat [tidak sulit].

Syarah

Empat keadaan yang berkaitan dengan dzikir:

1: Berdzikir dalam keadaan hati tidak ingat kepada Alloh.

2: Berdzikir dalam keadaan hati yang ingat kepada Alloh.

3: Berdzikir dengan disertai rasa kehadiran Alloh di dalam hati.

4: Berdzikir dalam keadaan fana' dari makhluk, lenyap segala sesuatu dari hati, hanya Alloh saja yang ada.

Seorang salik tidak boleh meninggalkan Dzikir, disebabkan karena hatinya belum bisa ingat/menghadap kepada Alloh. akan tetapi ia harus tetap selalu berdzikir walaupun hatinya masih belum bisa khudhur.

Karena orang yang meninggalkan dzikir itu jauh dengan Alloh hati dan lisannya. berbeda dengan orang yang mau berdzikir, meskipun hatinya masih jauh dengan Alloh karena belum bisa mengingat Alloh waktu berdzikir, tapi lisannya dekat dengan Alloh.

karena tidaklah sulit bagi Alloh untuk mengubah suasana hati hamba-Nya yang berdzikir dari suasana yang kurang baik kepada yang lebih baik hingga mencapai yang terbaik. Menaikkan satu tingkat [derajat] kelain tingkat [derajat], dzikir adalah satu-satunya jalan yang terdekat menuju kepada Alloh, bahkan sangat mudah dan ringan.

Abu Qasim al-Qusyairy berkata: "Dzikir itu simbol wilayah [kewalian], dan pelita penerangan untuk sampai, dan tanda sehatnya permulaannya, dan menunjukkan jernihnya akhir puncaknya, dan tiada suatu amal yang menyamai dzikir, sebab segala amal perbuatan itu ditujukan untuk berdzikir, maka dzikir itu bagaikan jiwa dari segala amal. Sedang kelebihan dzikir dan keutamaannya tidak dapat dibatasi".

Allah berfirman: "Berdzikirlah [ingatlah] kamu kepada-ku, niscaya Aku berdzikir [ingat] kepadamu." [QS. Al-Baqorah 152 ].

Dalam hadits Qudsi, Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda, Alloh 'Azza wa Jalla berfirman: "Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia berdzikir [mengingat] dalam dirinya. Aku pun berdzikir padanya dalam dzat-Ku dan jika ia berdzikir pada-Ku di keramaian, maka Aku pun berdzikir padanya dalam keramaian yang lebih baik dari pada kelompoknya, dan jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya berjalan cepat."

Abdullah bin Abbas rodhiyallohu 'anhu berkata: "Tidak ada suatu kewajiban yang diwajibkan oleh Alloh pada hamba-Nya melainkan ada batas-batasnya, kemudian bagi orang-orang yang berudzur dimaafkan jika ia tidak dapat melakukannya, kecuali dzikir, maka tidak ada batas dan tidak ada udzur yang dapat diterima untuk tidak berdzikir, kecuali jika berubah akal [gila].

Alloh berfirman: "... Bagi orang-orang yang mempunyai pikiran [sempurna akal]. Yang selalu berdzikir [mengingat] Alloh sambil berdiri, duduk dan berbaring." [QS. Ali-Imran 190-191].

Firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman, Berdzikirlah [ingatlah] kamu kepada Alloh dengan dzikir sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang."

Yakni pagi, siang, sore, malam, di darat, di laut, di udara, dalam perjalanan [musafir] berdiam diri pada semua tempat dan waktu, bagi yang kaya, miskin, sehat, sakit, terang-terangan atau sembunyi dengan lisan atau hati dan pada tiap keadaan.

Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.

Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:

Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur

๐Ÿ“– Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.

#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal

Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.

Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!