Ada saat ketika manusia harus berhenti. Berhenti dari gemuruh ambisi, dari hiruk-pikuk pencapaian, dari kebisingan dunia yang memabukkan. Di titik hening itu, ada suara lirih yang memanggil: “Kau dari siapa, untuk apa, dan hendak ke mana?” Suara yang kadang kita abaikan, tapi tak pernah benar-benar pergi. Itulah panggilan ruh, isyarat ilahi, tanda bahwa kita telah terlalu jauh dari asal. Dan tasawuf, dengan kelembutan hikmahnya, datang bukan untuk mencela langkah yang tersesat, tetapi untuk membukakan jalan pulang.
Ilmu martabat tujuh bukan sekadar konsep kosmologi dalam khazanah sufisme. Ia adalah peta rahasia perjalanan wujud, peta pulang menuju Wajah Alloh yang Mahasuci. Martabat demi martabat adalah anak tangga yang mesti dinaiki ruh untuk kembali mengenal hakikat dirinya. Sebab siapa yang tidak mengenal dirinya, niscaya akan terus tersesat dalam bayang-bayang yang fana. Dalam ungkapan para ‘arif billah: “Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa Robbahu” — “Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia akan mengenal Tuhannya.” Bukan sabda Nabi, tapi hikmah yang lahir dari mata batin yang tercerahkan.
Martabat pertama: Ahadiyah — Keberadaan Mutlak, keheningan Wujud Alloh yang belum terjamah nama, belum berisi rupa, belum berdenyar gerak. Di sana tidak ada selain-Nya. Lalu muncullah Wahdah, keesaan dalam ilmu, tempat di mana semua kemungkinan masih menjadi potensi. Selanjutnya Wahidiyah, ketika sifat dan asma’ mulai menyatakan diri dalam cakrawala ilmu-Nya. Dilanjutkan martabat Arwah, saat ruh-ruh tercipta dari perintah-Nya yang lembut: “Kun”, maka jadilah. Lalu ke alam Mitsal, bentuk-bentuk halus yang belum berjasad, kemudian ke Ajsam, jasad kasar tempat ruh diuji. Hingga akhirnya martabat Insaniyah, manusia lahir ke dunia, lengkap dengan akal, hawa, dan amanah.
Namun tak semua manusia menyadari bahwa dalam tubuhnya ada rahasia langit yang tersimpan. Bahwa ia bukan hanya segumpal daging, melainkan tempat tajalli—penampakan sifat-sifat Alloh. Ia adalah cermin, tempat Wujud Ilahi memantulkan diri-Nya. Tapi cermin itu penuh debu nafsu, tertutup kabut ego, tergores luka dunia. Maka hidup menjadi gelap, arah pun hilang.
Tasawuf hadir agar manusia membersihkan cermin itu, agar cahaya-Nya kembali memancar. Melalui dzikir, mujahadah, khalwah, dan riyadhah, ruh kembali menapak ke asalnya. Dari jasad menuju mitsal, dari arwah menuju wahidiyah, lalu larut dalam samudera wahdah, hingga tenggelam dalam lautan ahadiyah. Inilah jalan fana', jalan pulang, di mana tidak tersisa apapun dalam diri kecuali Dia.
Seperti dikatakan oleh Syekh Abu Yazid al-Busthami: “Ma ra’aytu syay’an illa ra’aytu Alloh qoblahu wa ba‘dahu wa ma‘ahu” — “Tiada sesuatu yang aku lihat kecuali aku melihat Alloh sebelumnya, sesudahnya, dan bersamanya.” Inilah kesadaran ma‘rifat, di mana seluruh keberadaan adalah wajah-Nya, dan hidup menjadi dzikir yang tak pernah selesai.
Tapi jalan ini bukan jalan mudah. Ia bukan jalur kesalehan palsu, bukan sekadar ritualisme tanpa kesadaran. Jalan ini menuntut penghilangan diri, peluruhan keakuan, pembakaran nafsu. Sebab selama “aku” masih mengaku, selama ego masih hidup, selama dunia masih menjadi kiblat, maka martabat ruhani tak akan pernah tercapai.
Syekh Abdul Karim al-Jili menulis dalam al-Insan al-Kamil: “Al-insan huwa al-kawn al-jami‘, fihi tajalla al-Haqqu bi jamī‘i asma’ihi wa sifatihi” — “Manusia adalah semesta yang mencakup segalanya, di dalamnya Alloh menampakkan seluruh nama dan sifat-Nya.” Maka siapa yang mengenal dirinya sejatinya sedang mengenal semesta, dan siapa yang mengenal semesta dengan benar, akan sampai kepada Wujud yang Esa.
Kesadaran martabat tujuh mengajarkan bahwa hidup ini adalah misi untuk menyadari. Menyadari bahwa dunia bukan tempat tinggal, melainkan tempat singgah. Menyadari bahwa tubuh bukan identitas sejati, melainkan wadah sementara. Menyadari bahwa segala yang tampak ini hanyalah bayangan, dan hakikatnya hanyalah Alloh. Maka, tugas kita adalah berjalan melampaui lapisan-lapisan martabat itu, menembus kabut, dan sampai kepada terang ma‘rifat.
Inilah saatnya kita tidak hanya hidup, tapi hadir. Hadir dalam tiap detik dengan kesadaran ilahiyah. Hadir dalam sujud bukan sekadar ruku’ tubuh, tapi luluhnya ruh di hadapan-Nya. Hadir dalam dunia tapi tidak dikuasai dunia. Hadir dalam jasad, tapi ruh tetap menyala.
Karena pada akhirnya, sebagaimana dikatakan Syekh Ahmad Zarruq: “Man lam yadkhulu ashlahu lam yablugh washlahu” — “Siapa yang tak masuk ke asalnya, ia tak akan sampai pada tujuan akhirnya.” Dan tujuan kita bukan sekadar surga, bukan pula pahala. Tujuan kita adalah Wajah-Nya. Tujuan kita adalah kembali. Pulang.
GUS IMAM
Dalam kebersamaan, kita temukan kedamaian.
Temukan kisah, nilai, dan inspirasi dari tanah kelahiran di blog kami:
Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur📖 Baca sekarang dan rasakan hangatnya budaya dan spiritualitas lokal.
#MajelisSekumpul #SadulurSalembur #BlogKomunitas #NilaiLokal
Terima kasih telah membaca di Majelis Sekumpul - Sadulur Salembur.
Jangan lupa bagikan artikel ini jika bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar