Hati-hati Ada Macan
Suatu hari di bulan Syawal, Kiai Kholil memanggil santri-santrinya. “Anak-anakku, sejak saat ini kalian harus memperketat penjagaan pondok. Gerbang pondok harus senantiasa dijaga. Sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita,” kata Kiai Kholil di depan santri-santrinya.
Karuan saja, mendengar perintah kiai yang sangat dihormati itu, para santri segera mempersiapkan diri. Dalam benak mereka terbayang seekor macan yang mengendap-endap memasuki pesantren dan menerkam salah seorang dari mereka. Saat itu di sebelah timur Bangkalan masih ada hutan yang cukup angker. Satu hari, dua hari, tiga hari, dan seterusnya, para santri selalu berjaga dengan waspada. Tanpa terasa hitungan hari sudah mencapai tiga minggu. Macan yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul. Yang terjadi malahan—sebagaimana biasanya di bulan Syawwal yang merupakan awal tahun pelajaran baru—adalah para santri berdatangan dari berbagai penjuru Tanah Air. Pada minggu ketiga sejak Kiai Kholil memerintahkan para santrinya untuk berjaga-jaga, seorang pemuda kurus dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi dan berkulit kuning, menenteng koper seng, datang ke kompleks pesantren.
“Assalamu’alaikum,” ucapnya ketika berada di depan pintu rumah Kiai Kholil. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diucapkan, Kiai Kholil malah berteriak memanggil santri-santrinya. “Hai santri, ada macan... macan... ayo kita kepung. Jangan sampai ia masuk ke pondok!” teriak Kiai Kholil. Mendengar teriakan Kiai Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir macan itu. Di antara mereka ada yang membawa pedang, celurit, tongkat, batang kayu, dan apa saja yang bisa dibawa, mengerubuti macan yang tak lain adalah seorang pemuda tadi. Sang pemuda menjadi pucat pasi ketakutan. Tak ada jalan lain, karena di kerubungi para santri sedemikian rupa, pemuda tersebut terpaksa ngacir, lantas pergi. Karena sangat ingin menyantri pada Kiai Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Namun, ia memperoleh perlakuan yang sama. Diusir ramai-ramai. Pada malam ketiga, diam-diam pemuda itu memasuki kompleks pesantren. Karena kelelahan, juga rasa takut, pemuda itu meringkuk, tidur di bawah kentongan di langgar (mushola). Tak disangka, tengah malam itu Kiai Kholil membangunkannya. Ia dimarahi habis-habisan. Namun demikian, malam itu juga ia diajak ke rumah Kiai Kholil, pemuda itu sangat lega ketika dinyatakan diterima sebagai santri. Pemuda itu bernama Abdul Wahab—atau Abdul Wahab Hasbullah yang kemudian hari menjadi pendiri Jami’yah Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Wahab dikemudian hari memang dikenal sebagai macan, baik oleh kawan maupun lawannya. Kiai Kholil dikenal sebagai Kiai yang suka berbuat aneh-aneh, penuh teka-teki dan misteri yang sulit dimengerti. Namun demikian, perbuatannya yang aneh-aneh itu oleh masyarakat dianggap memiliki isyarat terntentu. Misalnya ketika Kiai Kholil mengusir Wahab Hasbullah dari pesantrennya & menyuruh agar ia nyantri kepada Kiai Hasyim Asy’ari, murid seniornya yg mendirikan pesantren di Tebuireng, Jombang.
Sumber: Buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia, hal. 36-38 (Keira Publishing: 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar